Sabtu, 30 Januari 2010

Pendidikan Politik Generasi Muda

ASPEK FUNDAMENTAL PENDIDIKAN POLITIK
I. MAKRO PENDIDIKAN POLITIK
A. PENGARUH KEBUDAYAAN
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia (Kuntjaraningrat, 1990:182).
Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum bentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi (Wikipedia, 2007)
J.J. Honigman (1959:11-12, Kuntjaraningrat, 1990:186-188) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu; 1) ideas, 2), Activities dan 3) artifacts, Kuntjaraningrat menerjemahkan sebagai berikut:
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, di mana merupakan wujud yang ideal, sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau dilihat, lokasinya ada dalam alam pikiran masing- masing kelompok masyarakat. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem.
2) Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut Sistem sosial atau social System mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri.
3) Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Karena berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat.
Pada point kedua dikatakan bahwa wujud kedua dari sistem sosial adalah sistem sosial mengenai tindakan berpola dari manusia maka dengan demikian suatu wujud kebudayaan itu adalah sistem sosial dari suatu masyarakat. Dalam kehidupan kenegaraan budaya yang lebih spesifik dan berkaitan dengan peran warga negara dalam bernegara disebut dengan budaya politik.
Budaya politik memiliki pengaruh penting dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik bila tidak ditunjang oleh budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam merespons tuntutan perubahan, muncul dua sikap yang secara diametral bertentangan: "mendukung" dan "menentang" demokrasi. Realisasi demokratisasi dihadapkan pada kedua kutub yang saling bertentangan itu.
Budaya politik terekspresi melalui orientasi, pandangan dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik demokratis adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, dan persepsi yang menopang terwujudnya partisipasi. Budaya politik yang demokratis merupakan budaya politik yang partisipatif, yang oleh Almond dan Verba diterjemahkan sebagai civic culture. Karena itu, hubungan antara budaya politik dengan demokrasi (demokratisasi) dalam konteks civic culture tidak dapat dipisahkan.
Gabriel Almond dan Verba mengungkapkan konsep kebudayaan politik (civic culture) suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih lanjut diungkapkan mode-mode orientasi politik dan menggolong-golongkan berbagai obyek politik dengan klasifikasi tipe-tipe orientasi politik mengikuti rumusan Parsons dan Shills, yaitu :
1. Orientasi kognitif : pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya.
2. Orientasi Afektif : perasaan terhadap sistem politik; peranannya, para aktor dan penampilannya.
3. Orientasi Evaluatif : keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. (1990 : 16-17)
Gabriel Almond membagi bentuk budaya politik warga negara menjadi tiga bagian yaitu :
• Budaya Politik Partisipan: orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik, paling tidak dalam kegiatan pemberian suara, dan memperoleh informasi cukup banyak tentang kehidupan politik.
• Budaya Politik Subyek: orang yang secara pasif patuh terhadap pemerintah dan UU, tetapi tidak terlibat dalam politik maupun pemberian suara.
• Budaya Politik Parokial: orang-orang yang tidak menyadari atau mengabaikan pemerintahan dan politik.
Bagian utama yang menyusun budaya politik atau civic culture adalah civic virtue (nilai kebajikan warganegara). Civic Virtue merupakan karakter bangsa yang merupakan potensi kepribadian manusia yang dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal dan diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku yang konsisten. Sapriya (2007) menjelaskkan faktor internal dan eksternal dalam pembangunan karakter bangsa diantaranya :
1) Faktor Eksternal dalam pembangunan karakter bangsa meliputi nilai budaya, adat, tata krama, budi pekerti, nilai agama, dan nilai yang baik lainnya yang dianut oleh suatu bangsa agar bangsa tersebut memiliki nilai-nilai sebagaimana yang dimiliki oleh generasi terdahulu
2) Setiap individu warga negara memiliki potensi internal yang dapat membentuk karakter yang baik, tetapi pengaruh eksternal memiliki pengaruh yang lebih dominan dalam membentuk kepribadian dan karakter individu warga negara bahkan karakter bangsa.
3) Karakter warga negara demokratis yang dapat membangun karakter bangsa Indonesia meliputi rasa hormat dan tanggung jawab kepada sesama, bersikap kritis terhadap kenyataan empiris, membuka adanya dialog, menumbuhkan sikap kemandirian, memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan, dan menempatkan sesuatu secara profesional dan proporsional.
Berdasarkan orientasi budaya politik yang dikemukakan oleh Almond dan Verba tersebut, jika dipetakan dalam masyarakat Indonesia menunjukkan kendala yang lebih kompleks, sebab situasi masyarakat Indonesia yang multikultural, dimana bangsa ini ingin menciptakan suatu bangsa dengan satu bangsa (one nation) dalam masyarakat yang multi etnis. Pluralitas bangsa ini memberikan dorongan besar untuk penciptaan budaya nasionalisme yang tangguh, sebab realitas masyarakat Indonesia secara sosiologis terdiri dari lebih kurang 500 kelompok etnis, yang mana setiap etnis secara kultural mempertahankan identitas dan budayanya serta kecenderungan yang sangat kuat untuk mengklaim wilayahnya dalam tataran komunitas etnis yang homogen. Sementara itu, etnisitas memiliki potensi yang dapat merusak tatanan sosial sebuah komunitas secara umum. Kondisi ini terjadi, ketika etnisitas dimaknai sebagai sebuah ide dan wilayah primordial (Suparlan, 2003). Hal ini senada dengan pemikiran Will Kimlicka ”... if society accepts and encourages more and more diversity, in orther to promote cultural inclusion, it seems that citizens will have less and less in common. If affirming differences is required to integrate marginalized groups into the common culture, there may cease to be a common culture”. (Ronald Beiner, 1995 : 6)
Menurut Rusadi Kantaprawira budaya politik “adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik”. Budaya politik sebenarnya melekat pada setiap masyarakat tertentu baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Perilaku politik diperlihatkan dengan sikap dan tindakan individu atau kelompok yang berupa dukungan terhadap pemerintah maupun apati kepada pemerintah. Perilaku politik juga dapat diperlihatkan melalui respon masyarakat terhadap perundang-undangan, kebijakan public dan lain-lain.
Budaya politik masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi :
a) Budaya politik Parochial
Tipe budaya politik ini anggota masyarakat cendrung tidak menaruh minat terhadap obyek-obyek politik yang luas, kecuali dalam batas tertentu, yaitu terhadap tempat dimana ia berada dalam skala yang sangat sempit.
b) Budaya politik Kaula
Tipe budaya ini memperlihatkan dimana anggota masyarakat mempunyai minat, perhatian dan kesadaran terhadap sistem politik secara keseluruhan, terutama terhadap hasil atau dari produk kebijakan politik, namun masyarakat belum memperhatikan tingkat partisipasi untuk membuat kebijakan atau terutama menjadi aktor politik. Dalam budaya politik seperti ini biasanya masyarakat tunduk dan patuh terhadap peraturan yang telah ditetapkan dan segala keputusan yang telah ditetapkan oleh penguasa dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah, dikoreksi apalagi ditentang.
c) Budaya politik Partisipan
Budaya politik partisipan ditandai dengan kesadaran seseorang bahwa dirinya ataupun orang lain adalah anggota aktif dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan tipe budaya seperti ini akan menyadari hak dan tanggungjawabnya dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan hak serta menanggung kewajibannya.
B. HUBUNGAN STRUKTUR DAN STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PENDIDIKAN POLITIK
Dalam konsep politik, istilah struktur maka tidak dapat dipisahkan dari konsep supra strukstur dan infra struktur politik. Supra struktur politik adalah berhubungan dengan legislatif dan eksekutif seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, BPK dan lainnya. Sedangkan infra struktur politik berupa lembaga yang berkuasa. Lembaga infra struktur politik diantaranya organisasi massa seperti Majelis Ulama Indonesia, Muhamdiyah, Partai Politik dan lain-lain.
Dalam konsep sosiologi, Struktur dan stratifikasi sosial sering diartikan sebagai pelapisan sosial. Dari Wikipedia Indonesia, mengenai stratifikasi sosial antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.
Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial, ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial.
1. Ukuran kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
2. Ukuran kekuasaan dan wewenang, Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
3. Ukuran kehormatan, Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
Stratifikasi sosial berhubungan dengan status yang dimiliki oleh seseorang. Status seseorang dalam masyarakat dapat dimiliki dengan dua faktor yaitu dimiliki karena faktor keturunan (ascribed status) atau dimiliki dengan usaha untuk mencapai (achieved status). Menempuh pendidikan untuk mengejar kedudukan dan status yang lebih baik dalam masyarakat merupakan bentuk dari achieved status.
Stratifikasi dan pelapisan sosial dapat menggambarkan bentuk partisipasi politik yang dilakukan warga negara. Azyumardi Azra. (2002: 12-13). Menyatakan terdapat 4 (empat) Syarat yang membuat pertumbuhan demokrasi lebih memberikan harapan yakni; 1) Peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan; 2) Pengembangan dan Pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat yang favorable bagi pertumbuhan demokrasi, seperti “kelas menengah”, LSM, para pekerja, dan sebagainya; 3) hubungan internasional yang lebih adil; dan 4) Sosialisasi Pendidikan kewargaan (civic education).
Berkenaan dengan hal tersebut, Bahmuller (1996:216-221) mengidentifikasi sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi suatu negara, yaitu: “…the degree of economic development; …a sense of national identity; …historical experience and elements of civic culture.” Maksudnya adalah bahwa tingkat perkembangan ekonomi, kesadaran identitas nasional, dan pengalaman sejarah serta budaya kewarganegaraan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan demokrasi suatu negara.
C. PERAN ORGANISASI SOSIAL DALAM PENDIDIKAN POLITIK
Thomas Hobbes, dalam Leviathan, mengemukakan bahwa manusia itu padasarnya suka mementingkan diri sendiri, seperti perhatian utama mereka pada perlindungan diri; sebaliknya, John Locke, dalam Two Treatises on Government, berpendapat bahwa manusia itu pada dasarnya suka mementingkan kepentingan orang lain. Manusia tidak ada yang benar-benar suka mementingkan diri sendiri ataupun benar-benar suka mementing kepentingan orang lain. Hanya sedikit yang benar-benar memiliki karakteristik ekstrim seperti itu. Kelakuan mereka biasanya tergantung pada suasana hati mereka: minum bir semalam dapat membuat kelakuan menjadi jelek, menjadi egois ketika menjawab pertanyaan sederhana pada keesokan paginya. Namun, orang-orang dapat dan seringkali menempatkan diri untuk menolong orang lain.
Dari sudut pandang politik, setiap warga negara harus diperlakukan secara adil dan memiliki hak yang sama. Kita dapat menetapkan komposisi suatu komunitas politik yang terbentuk oleh kumpulan warga negara, dimana kita menetapkan kewarganegaran dalam hal hak pasti yang menyertakan kebeadaban dan kesetaraan anggota sebagai agen politk. Tugas utama asosiasi penduduk adalah untuk menghasilkan aturan yang pelaksanaannya bersifat mengatur dan juga membatasi area kebebasan itu sendiri. Hukum menyediakan bingkai kerja yang memberitahu kita dimana letak kebebasan itu berada. Jadi, wacana politik dalam pandangan yang terbatas ini harus dikaitkan dengan kependtingan warga negara itu sendiri secara keseluruhan, karena hal ini berkaitan dengan perumusan hukumnya. Hal itu memperhatikan kepentingan umun dari komunitasnya. Untuk itu, kita memiliki beberapa karakteristik komunitas politik:
1. Komunitas politik terbentuk oleh sejumlah warga negara, dimana kewarganegaraan ditetapkan dalam istilah hak pasti yang mengabadikan kebebasan dan kesetaraan anggotanya sebagai agen politik.
2. Komunitas ini berfungsi sebagai suatu asosiasi yang bertujuan untuk menghasilkan aturan atau hukum yang pelaksanaannya bersifat mengatur dan juga membatasi area kebebasan itu sendiri.
3. Wacana politiknya berkaitan dengan kepentingan publik, karena ada hubungannya dengan perumusan hukum.
Analisa tersebut menggarisbawahi ciri-ciri lain yang akan dimiliki suatu komunitas politik. Yaitu berupa aturan yang mengatur dan berwenang, dalam arti bahwa aturannya akan diakui sebagai sesuatu bentuk perintah yang harus ditaati. Aturan tersebut tentu saja akan di dukung oleh kekuasaan dan harus dipatuhi, dilaksanakan dan diinterpretasikan. Semua ktugas tersebut akan dijalankan dengan cara mengakui kekuasaan publik. Hal ini membawa pada suatu ciri berikutnya: jika aturan dibuat untuk mencapai penerimaan, maka badan pembuat undang-undang, pihak pelaksana,dan penguasa inerpretatif harus disahkan. Aturannya harus dilakukan oleh orang yang tepat, yaitu orang yang diakui sebagai penguasa yang tepat. Dalam cara seperti itu, aturannya akan diakui sebagai sesuatu yang valid dan berwenang, polisi akan dianggap sebagai orang yang tepat untuk mendukung jalannya pelaksanaan hokum, dan hakim akan diakui sebagai orang yang tepat untuk memberlakukan dan menginterpretasikan aturan tersebut.
Brownhil (1989) merinci karakteristik komunitas politik yang lebih detil seperti dibawah ini :
1. Adanya aturan yang mengikat
2. Otoratif: hukum harus ditaati, dilaksanakan, diberlakukan, dan diinterpretasikan; mereka memiliki aturan tersendiri yang dilaksanakan dengan proses yang tepat.
3. Sah.
4. Adanya masyarakat yang terbuka
5. Berlandaskan etika: gagasan dari orang yang berkuasa, individu yang bertanggung jawab dan gagasan mengenai saling menghormati orang lain.
6. Keadilan, kebenaran, dan aturan hukum: termasuk akses yang sama terhadap hukum, kesetaraan dalam hukum, hak menuntut keadilan (penerapan hukum dengan cara yang masuk akal), dan keadilan distributive dan social (standar kehidupan yang layak bagi setiap warga negara).
7. Non-kekerasan.
8. Adanya konsep kewajiban pada setiap komunitas
9. Adanya hubungan kepercayaan diantara sang pengatur dan pihak yang diatur.
Karakteristik yang paling terakhir membawa kita kedalam pertimbangan yang lebih luas lagi dari suatu hubungan diantara sang penguasa demokratis dan warga negaranya.
Organisasi sosial dalam UU No. 8 tahun 1985 diartikan sebagai organisasi masyarakat. Organisasi masyarakat adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat dan bertujuan untuk mewujudkan keinginan anggotanya. Organisasi sosial di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, sejak zaman penjajahan sampai dengan masa kemerdekaan saat ini organisasi massa memiliki peran yang nyata dalam mendidik masyarakat maupun merespon kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
D. PENDIDIKAN POLITIK SEBAGAI GEJALA SOSIAL
Brownhill (1989) menyatakan bahwa pendukung pendidikan politik secara garis besarnya bisa di bagi kedalam lima kelompok : mereka yang ingin mempertahankan status quo tapi merasa bahwa pada saat ini dalam suatu masyarakat yang terus berubah , pendidikan politik itu memang perlu mereka yang ingin tetap mempertahankan status quo tapi merasa bahwa pendidikan politik terbuka itu sifatnya kontraproduktif (counter-productive) ; mereka yang yakin terhadap demokrasi partisipasi tapi terkendali ; mereka yang menganut paham aktivisisme yang menginginkan golongan masyarakat yang kurang beruntung mengetahui cara bekerjanya sistem itu; kelompok yang lebih radikal yang tidak menyukai tatanan politik dan percaya bahwa pendidikan politik bisa melemahkannya.
Plato merancang sebuah sistem pendidikan yang tidak hanya menghasilkan suatu pandangan yang benar saja, tetapi untuk melakukan seleksi terhadap orang-orang yang seharusnya tidak dipilih menjadi pemimpin. Sistem pendidikan Plato ini dirancang untuk mempertahankan dan mendukung tatanan yang ada di masyarakat. Plato merancang sebuah sistem pendidikan yang dapat mengahsilkan pemimpin yang ideal untuk sebuah negara yang didambakannya serta untuk menyeleksi orang-orang yang pantas dan tidak pantas menjadi pemimpin. Pendapat Plato ini sarat dengan unsur-unsur politik. Karena berbicara mengenai pemimpin masa depan untuk sebuah negara tidak akan terlepas dari aspek politis, terutama mengenai cara mendapatkan, menjalankan dan mempertahakan kekuasaan kepemimpinannya. Selain itu juga, pendidikan dijadikan alat untuk mencegah munculnya penguasa-penguasa buas (savage masters) (Rapar, 2002: 99).
Berbeda dengan Plato, Peters menitikberatkan orientasi dari sistem pendidikan yang dirancang pada aspek kemampuan warga negara dalam memahami dunia dengan cara sendiri. Warga negara diharapkan mampu menilai gejala-gejala yang terjadi serta melakukan inovasi-inovasi dalam setiap dimensi kehidupan. Hal ini menurut penulis secara politis Peters menghendaki terbentuknya warga negara yang baik dan bertanggung jawab serta tahu akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Selain itu juga, warga negara negara yang baik mempunyai kemampuan berpikir secara global sehingga dapat menguasai dunia dengan caranya sendiri.
Dari kedua pandangan tokoh tersebut, penulis menganggap kedua dapat dikatakan saling melengkapi jika diterapkan dalam sebuah sistem pendidikan modern dalam hal orientasinya. Akan tetapi penulis kurang sepaham jika sistem pendidikan hanya dirancang untuk mempertahankan status quo saja. Karena pendidikan juga dirancang untuk terus memperbaiki sistem nilai yang ada serta untuk membuka cakrawala berpikir masyarakat atau warga negara sehingga mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi negaranya.
Kemudian, dalam sistem pendidikan yang dirancang Plato, para subjek pendidikan sengaja tidak diberi tahu adanya unsur politis dalam proses pendidikan yang berlangsung. Hal ini telah mendudukan pendidikan politik sebagai sebuah kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum). Kondisi seperti ini mungkin dilakukan untuk menghilangkan kesan negatif terhadap pendidikan politik.
Konsep hidden curicullum merupakan sebuah langkah yang tepat dilakukan dalam situasi dan kondisi masyayarakat yang masih skeptis terhadap pendidikan politik. Dengan cara tersebut, masyarakat akan tidak menyadari ketika mereka melakukan proses penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Secara tidak langsung mereka telah telah malakukan cara-cara politis dalam proses tersebut. Implementasi hidden curriculum ini secara bertahap akan membuat warga negara atau masyarakat memiliki kesadaran politik



E. PENDIDIKAN POLITIK DAN MASALAH SOSIAL (AKTUAL-FAKTUAL DAN FUNDAMENTAL)
Pendidikan politik menurut Affandi (1996:27) “sebagai alat untuk mempertahankan sikap dan norma politik dan meneruskannya dari satu generasi ke generasi berikutnya, baik melalui akulturasi informal maupun melalui pendidikan politik yang direncanakan untuk menunjang stabilitas sistem politik” Lebih lanjut Affandi (1996:29) mengemukakan pendidikan politik selain dapat menggerakkan sistem politik yang efektif, juga dapat mewarnai kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Disinilah pentingnya pendidikan politik, sehingga melalui pendidikan politik bisa ditentukan atau diprediksi arah kehidupan bangsa ke depan. Untuk itu pentingnya pendidikan politik itu bukan hanya dalam konteks organisasi negara, tetapi juga bagi semua organisasi baik yang besar maupun yang kecil, apabila organisasi tersebut ingin tetap eksis. Hal ini karena negara ini dibangun mulai dari organisasi yang kecil termasuk keluarga. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pendidikan politik perlu mengembangkan materi-materi yang mengarah dan menunjang terhadap pencapaian tujuan yang diharapkan.
Brownhill dan Smart (1989:10) mengemukakan, bahwa: “Dalam pendidikan politik siswa harus diajarkan atau dibimbing untuk menilai hakikinya; bermusyawarah; mengajukan argumen-argumen yang baik, dan yang terpenting adalah untuk mencintai kebenaran”. Dengan demikian, diharapkan produk dari pendidikan politik terbentuk warganegara yang dapat menilai dirinya sendiri, aktif dalam bermusyarawah, dapat mengajukan pendapat secara rasional, semuanya sebagai wujud dari kecintaannya terhadap kebenaran.
Terlepas dari perbedaan orientasi dukungan antara golongan kiri dan kanan, pendidikan politik menurut penulis memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka pembentukan individu-individu yang melek politik dan kemudian dapat menentukan sifat persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap sejumlah gejala politik yang terjadi. Dari sini kita dapat melihat bahwa proses pendidikan politik adalah proses pendewasan individu dalam berpolitik. Dalam hal ini Kartono (1989: 14) memberikan penjelasan tentang pendidikan politik sebagai berikut :
Bentuk pendidikan bagi orang dewasa dengan jalan menyiapkan kader-kader untuk pertaruangan dan mendapatkan penyelesaian politik, agar menang dalam perjuangan politik. Pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara etis dalam mencapai tujuan politik.

Pendidikan politik secara umum mempunyai pesan dalam mengantarkan sebuah komunitas masyarakat baik itu komunitas intelek maupun komunitas politik untuk menjadi semakin dewasa dan tertib dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain menjadi warga negara yang cerdas dan bertanggung jawab (Civic responsible). Pendidikan politik sebagai bagian pendidikan secara umum didasari oleh asumsi bahwa pendidikan politik mencakup warga negara terhadap kultural serta mempelajari sikap-sikap politik dan prilakunya terhadap politik. Brownhill dan Smart (1989: 1) mengemukan bahwa “that education and political structure of society are closely linked has probably always been recognized (ada keterkaitan yang erat anatara pendidikan dan struktuir politik yang sudah diketahui banyak orang)”. Dalam hal ini dijelaskan bahawa setiap pendidikan memiliki ciri politis tertentu yang dirancang untuk membimbing anak-anak dalam mengerjakan segala kegiatannya. Berkaitan dengan hal tersebut, sebuah sistem pendidikan memiliki ciri-ciri politis tertentu diantaranya (Kartono, 1989: 66-67) :
• Menuntun orang untuk memiliki sudut pandang
• Menilai benar salah
• Tuntutan normative
• Kerangka interpretative
Upaya pendidikan politik dalam hubungannya dengan proses pendidikan pada umumnya adalah mencoba memberikan pengalaman politik baru dengan sedikit-demi sedikit meninggalkan status quo walaupun pada prinsipnya proses pendidikan politik adalah proses indoktrinasi. Akan tetapi pendidikan politik yang dikembangkan mencoba untuk menerapkan prinsip demokrasi sebagai landasan pola pikirnya dimana setiap orang seharusnya berpatisipasi dalam setiap pengambilan keputusan politik dan sebagian besar kelompok masyarakat yang mendambakan kehidupan yang sejahtera seharusnya mampu berpartisipasi. Dalam proses pendidikan politik di masyarakat seseorang bebas untuk dididik akan tetapi bukanlah untuk menjadi sangat terdidik. Kenyataan ini didukung oleh pendapat Haines (Brownhill dan Smart: 4) bahwa upaya pendidikan politik kepada masyarakat dilakukan agar ”Free men have to decide, to choose, to elect refresentatives, suport or under mine policies, advocate, persuade, guide, teach, as well as menege, their own affairs as well as they are able”.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis berasumsi bahwa diberikannya pendidikan politik dimaksudkan supaya rakyat atau warga negara tahu dan melaksanakan hak dan kewajibannya dalam setiap kegiatan perpolitikan. Sehingga dia dapat berkonstribusi terhadap sistem politik di negaranya. Pada akhirnya dia menjadi warga negara yang melek politik. Hal ini menunjukkan suatu orientasi dari pelaksanaan upaya pendidikan politik yang mengarah kepada peningkatan status diri warga negara yang menyadari fungsi politiknya. Dengan kata lain warga negara yang memiliki kasadaran politik.
Pendidikan yang diberikan kepada rakyat pada dasarnya memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dimana pendidikan mengajarkan rasa hormat, penerimaan terhadap kekuasaan dan masyarakat yang terbiasa hidup displin. Dalam kerangka pendidikan politik fungsi kontrol sosial tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri warga negara yang baik seperti yang diungkapkan oleh Cogan yaitu :
• Rasa kepribadian/jati diri yang mandiri baik sebagai insan ilahiah, soaial maupun kebangsaan
• Rasa nikmat akan sejumlah haknya baik legal, political, socio-economical rights dan mampu menjalankan baik dan benar
• Rasa tanggung jawab akan kewajiban-kewajiban yang menjadi keharusannya, sehingga selalu menjaga keseimbangan anatara kepentingan publik dengan privat serta menjelmakan tanggung jawab menjadi kewajiban dan tugas keharusan
• Minat dan keterlibatan akan public affairs sehingga siap, mau dan mampu berpartisipasi secara aktif, kreatuf, konstruktif dan demokratis.
• Kemampuan untuk menyerap /menerima nilai-nilai dasar kemasyarakatan, sehingga mampu menjalin kerja sama, kejujuran, kedamaian, serta rasa cinta dan kebersamaan dalam mempersiapkan hari esok. (Djahiri, 2002: 92)


F. TIPOLOGI DAN JENIS-JENIS PENDIDIKAN POLITIK DALAM MASYARAKAT
Penyampaian materi pendidikan politik sebagaimana tersebut di atas menurut Kantaprawira (1999:57) dapat dilakukan melalui:
a. Bahan bacaan seperti surat kabar, majalah dan lain-lain bentuk publikasi massa yang biasa membentuk pendapat umum.
b. Siaran radio dan televisi serta film (audio-visual media).
c. Lembaga atau asosiasi dalam masyarakat seperti mesjid dan gereja tempat penyampaian khotbah, dan juga lembaga pendidikan formal ataupun informal.
Menurut Ruslan (Ridha, 2002:58) institusi untuk menyampaikan materi pendidikan politik, yaitu: “Keluarga, sekolah, partai politik dan kelompok penekan, berbagai media informasi dan komunikasi massa”. Pendapat senada dikemukakan oleh Mas’oed (1997:37), bahwa: “Sarana sosialisasi politik dapat dijalankan melalui bermacam-macam lembaga, yaitu keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, media massa, dan kontak-kontak politik langsung”.
Plato merancang sebuah sistem pendidikan yang dapat mendukung dan mempertahankan tatanan yang ada dalam masyarakat, kurikulumnya dirancang untuk mengantarkan orang memahami realita dan menuju kecermelangan, masyarakat tidak perlu tahu bahwa mereka belajar pendidikan politik. Tokoh pendidikan politik R.S Peters (Broewnhill, 1989) merancang sebuah sistem pendidikan dengan karakteristik sebagai berikut : pendidik haruslah konservatif dan mendukung status quo, pendidikan harus dapat menuntun orang untuk dapat memandang dunia dengan cara tertentu, pendidikan memberikan kategori untuk sesuatu yang benar atau salah dan memberikan kerangka innterpretatif yang memungkinkan mereka dapat memahami dunia, membutat penilaian tentang hal tersebut dan membangun inovasi.
Tipologi lainnya yang diutrakan oleh beberapa ahli dalam pendidikan politik antara lain :
• Dalam negara demokrasi sudah selayaknya para penduduknya mengerti politik. Oleh karena itu logikanya pemerintahan yang representative membutuhkan pendidikan politik, karena apabila seseorang menginginkan akhir suatu keadaan, maka orang tersebut harus mencari cara untuk menuju keakhir tersebut (Denis Heater)
• Terdapat paradoks dalam demokrasi dimana 80 %-90 % warga negara sekarang dan masa depan hanya mengetahui sedikit tentang perpolitikan di daerah dan nasional (Stradling)
• Pendidikan politik di sekolah telah memiliki tempat yang sah di dalam kurikulum sekolah karena pengetahuan politik itu merupakan prasayarat mutlak untuk menjadi warga negara dewasa. (Robert Dunn)
• Pendidikan politik sebagai cara mempertahankan status quo.
• Pendidikan politik sebagai wahana perubahan (Gerakan Buruh)
• Pendidikan merupakan kekuatan yang akan mengarah kepada demokratisasi yang lebih besar.oleh karena itu diperlukan pendidikan politik yang berorientasi peran. (Ridley)
Aspek moral menjadi dasar dalam setiap kegiatan politik dan pemberian pendidikan politik. Pendidikan politik mengarahkan setiap warga negara untuk senantiasa mematuhi kewajiban-kewajiban politik yang dimilikinya. Dengan kata lain, pendidikan politik memperkenalkan suatu sistem nilai yang terdapat dalam sistem politik yang berlaku di negara.
Proses pengajaran dan pembelajaran pendidikan politik pada dasarnya dimulai dengan membelajarkan siswa untuk lebih mengenal nilai, fakta dan sudut pandang. Hal tersebut dilakukan supaya setiap siswa mampu untuk berargumen secara rasional berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
II. MIKRO PENDIDIKAN POLITIK
A. PROSES PEMBENTUKAN/PEMBUATAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL (PERAN PEMERINTAH, MPR/DPR/DPD/DPRD).
Ramlan Surbakti (1999:190) Kebijakan umum adalah kebijakan yang mengikat, menyangkut dan mempengaruhi masyarakat umum. Pilihan terbaik dari berbagai alternative mengenai urusan-urusan yang menjadi kewenangan pemerintah. Upaya pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia secara terencana dimulai sejak tahun 1969 dalam Program Pembangunan Lima Tahun Pertama (Pelita I). Proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan dibagi menjadi empat tahap Ramlan Surbakti (1999:197) :
1) tahap politisasi, menggugah perhatian atau dukungan atau tekad pemerintah.
2) Perumusan dan pengesahan program
3) Pelaksanaan Program
4) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan program
Beberapa tokoh lainnya mendefinisikan kebijakan seperti berikut ini:
1) Dye : Kebijakan publik adalah apapun yang pemerintah pilih untuk melakukan atau tidak melakukan.
2) Kartasasmita : kebijakan publik merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah mengenai suatu masalah, (2) apa yang menyebabkannya (3) apa pengaruhnya.
3) Edwar III : Kebijakan publik adalah apa yang pemerintah katakan dan dilakukan atau yang tidak dilakukan. Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah.
Kebijakan public yang dibuat oleh pemerintah sebaiknya direncanakan dengan mengikutsertakan masyarakat. Selain itu dalam pelaksanaannya pun melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat juga harus dilibatkan untuk mengawasi atau menilai kebijakan publik tersebut. Dengan demikian bentuk partisipasi masyarakat dalam kebijakan public dapat dilakukan dalam kegiatan sebagai berikut :
1) dalam merumuskan kebijakan publik
2) pelaksanaan kebijakan publik
3) pengawasan atas kebijakan publik
Dalam kehidupan kenegaraan peraturan perundang-undangan seperti UUD 1945 sampai dengan Peraturan Daerah disusun oleh lembaga yang berwenang, dengan proses penyusunannya masing-masing berbeda. Proses penyusunan Peraturan Perundang-undangan secara lebih jelas dapat kalian pelajari dibawah ini:
a. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
Ketentuan dalam UUD 1945 pasal 3 ayat (1) UUD 1945 lembaga Negara yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan mengubah UUD adalah MPR. Hal ini menunjukkan bahwa yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Secara historis penyusunan UUD 1945 dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian di tetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945.
Kemudian dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia, salah satu tuntutan reformasi dari berbagai komponen bangsa menghendaki adanya Perubahan UUD 1945. Perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan dan melengkapi pasal-pasal dalam UUD 1945 agar dapat mengimbangi dinamika perubahan jaman. Perubahan UUD 1945 dilakukan oleh MPR dalam empat masa persidangan. Adapun proses perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut :
Proses perubahan UUD 1945 mengikuti ketentuna pasal92 Peraturan Tata Tertib MPR mengenai tingkat-tingkat pembicaraan dalam membahas dan mengambil putusan terhadap materi siding MPR. Tingkat Pembicaraan tersebut sebagai berikut :
a. Tingkat I : Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan ini menjadi Rancangan Putusan Majelis sebagai bahan pokok Pembicaraan tingkat II.
b. Tingkat II : Pembahasan oleh rapat Paripurna Majelis yang didahului oleh penjelasan Pimpinan dan dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-fraksi.
c. Tingkat III : Pembicaraan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis terhadap semua hasil pembicaraan Tingkat I dan II. Hasil pembicaraan pada Tingkat III ini menjadi Rancangan Putusan Majelis.
d. Tingkat IV : Pengambilan putusan oleh Rapat Paripurna Majelis setelah mendengar laporan dari pimpinan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis serta usulan atau pendapat dari fraksi-fraksi bila diperlukan.
Pada pembicaraan tingkat I Panita Ad Hoc I Badan Pekerja MPR sebagai salah satu alat kelengkapan Badan Pekerja MPR ditugasi untuk mempersiapkan rancangan perubahan UUD 1945. Panitia Ad Hoc I memulai tugasnya dengan :
a. Rapat Dengar Pendapat Umum dengan berbagai kalangan masyarakat seprti para pakar, perguruan tinggi lembaga pengkajian, organisasi kemasyarakatan dan LSM untuk didengar masukan dan tanggapan secara kritis dan objektif berkaitan dengan rancangan UUD 1945.
b. Kunjungan Kerja Ke daerah untuk mendengar masukan dan tanggapan secara kritis dan objektif berkaitan dengan rancangan UUD 1945.
c. Seminar untuk mendengar masukan dan tanggapan secara kritis dan objektif berkaitan dengan rancangan UUD 1945.
d. Studi Banding ke luar negeri untuk mendalami konstitusi, konsep, praktik dan pengalaman penyelenggaraan Negara, system pemerintahan, system kepartaian, penataan hukum, mahkamah konstitusi, system pemilihan umum, hubungan sipil-militer, implementasi hak asasi manusia di berbagai Negara itu.
e. Pembentukan tim panitia ahli ad hoc I Badan Pekerja MPR
Kemudian dalam melakukan pembahasan materi rancangan UUD 1945 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja (BP) MPR telah menyepakati mekanisme pembahasan sebagai berikut :
a. Seluruh materi yang belum sempat dibahas pada siding-sidang MPR dibahas pada rapat pleno Panitia Ad Hoc I BP MPR.
b. Dilakukan rapat perumusan oleh Tim Perumus yang dibentuk Panitia Ad Hoc I BP MPR.
c. Hasil kesepakatan tim perumus di bahas dalam rapat pleno untuk mengsikronisasikan materi-materi yang saling terkait.
d. Materi hasil sinkronisasi dibahas dalam rapat finalisasi dengan tujuan mensistematiskan materi rangcangan UUD 1945.
e. Panitia Ad Hoc I BP MPR menyelenggarakan kegiatan review yang didahului kegiatan pre-review.
f. Hasil kerja Panitia Ad Hoc I BP MPR disahkan dalam rapat kerja Panitia Ad Hoc I dan Badan Pekerja MPR.
Pada pembicaraan tingkat II dilakukan pembahasan materi rancangan perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh rapat paripurna MPR pada sidang MPR yang didahului oleh penjelasan pimpinan MPR dan dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-fraksi MPR.
Pada pembicaraan tingkat III dilanjutkan dengan pembahasan oleh Komisi Majelis terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan II. Selama pembahasan dalam Komisi Majelis terbuka terhadap masukan, tanggapan dan pendapat dari anggota komisi.
Pada pembicaraan tingkat IV diputuskan dalam rapat paripurna MPR setelah mendengar laporan dari pimpinan komisi dan bilamana perlu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi MPR.
b. Undang-Undang (UU)
Undang-undang dibentuk untuk melaksanakan ketentuan yang diatur dalam UUD 1945. Lembaga yang berwenang membentuk UU adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Suatu undang-undang diberlakukan setelah mendapatkan persetujuan bersama DPR dan Presiden. Kriteria masalah diatur dalam undang-undang bila :
a. UU dibentuk atas perintah ketentuan UUD 1945.
b. UU dibentuk berdasarkan program legislasi nasional.
c. UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah UU yang sudah ada.
d. UU dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia.
e. UU dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban dan kepentingan orang banyak.
Proses penyusunan penyusunan peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang meliputi kegiatan-kegiatan berikut :
1. Tahap Penyiapan Rancangan Undang-undang (RUU)
Rancangan Undang-undang dapat dibuat oleh oleh prakarsa Pemerintah atau atas prakarsa DPR. Pemerintah dalam hal ini adalah seluruh departemen atau lembaga pemerintahan dapat mengajukan prakarsa pembentukan Undang-undang.
Anggota DPR dapat mengajukan RUU dengan menggunakan hak inisiatif. Pengusulan RUU dengan menggunkan hak inisiatif dapat diajukan apabila disetujui oleh sepuluh anggota DPR dari fraksi yang berbeda. Usulan disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR. Selanjutnya dibawa ke Rapat Paripurna untuk dibahas. Apabila disetujui RUU itu dilanjutkan ketahap berikutnya. Sebaliknya, apabila tidak sisetujui berarti RUU tersebut tidak dapat ditindak lanjuti.
2. Tahap Pembahasan di DPR
Tahap Pembahasan bagi Rancangan Undang-undang melalui DPR RI ditetapkan melalui 4 (empat) tingkat Pembicaraan :
a. Pembicaraan Tingkat I : Rapat Paripurna
Pembicaraan Tingkat I adalah pemberian keterangan atau penjelasan pemerintah mengenai RUU yang berasal dari Pemerimntah dan pemberian penjelasan dari pimpinan komisi atau pimpinan Panitia Khusus atas nama DPR jika RUU yang dibahas adalah RUU yang berasal dari DPR (hak inisiatif). Pembahasan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan melibatkan Dewan Perwakilan Daerah.
b. Pembicaraan Tingkat II : Rapat Paripurna
Pembicaraan Tingkat II berisi, jika RUU berasal dari pemerintah maka dilakukan pemandangan umum para anggota DPR yang mewakili fraksi masing-masing. Serta jawaban Pemerintah terhadap pemandangan pemandsangan umum fraksi-farksi. Apabila RUU berasal dari usul inisiatif DPR, maka dilakukan tanggapan pemerintah terhadap RUU usul inisiatif dan jawaban pimpinan panitia khusus atas nama DPR terhadap tanggapan Pemerintah tersebut.
c. Pembicaraan tingkat III : Rapat Komisi
Semua RUU dibahas secara mendalam dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi atau panitia khusus. Dalam rapat ini diundang pihak-pihak yang mewakili Pemerintah. Apabila dianggap perlu DPR dapat melakukan dengar pendapat (Hearing) dengan masyarakat, organisasi massa atau lembaga swadaya masyarakat.
d. Pembicaraan Tingkat IV : Rapat Paripurna
Pembicaraan Tingkat IV merupakan pembicaraan terakhir, dengan tahapan pembicaraannya adalah :
1. Pelaporan hasil rapat Tingkat III
2. Penyampaian pendapat akhir fraksi dan apabila perlu disampaikan juga catatan-catatan dari fraksi.
3. Sambutan Pejabat yang ditunjuk Pemerintah sebagai komentar terhadap putusan yang ditetapkan DPR.
3. Tahap Pengesahan dan Pengundangan
Hasil pembahasan RUU yang telah disetujui DPR akan diberikan kepada Presiden untuk ditandatangani dan disahkan. Kemudian Undang-undang tersebut akan diundangkan oleh Menteri Negara/Sekretaris Kabinet. Pengundangan mempunyai maksud agar seluruh warga Negara mengetahui atau dianggap mengetahui bahwa ada Undang-undang yang baru dan mengikat semua.
Dalam hal rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 (tiga puluh hari) semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang itu sah menjadi undang-undang.
c. Peraturan Pemerintah (PP)
Untuk melaksanakan suatu Undang-Undang, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah. Jadi Peraturan Pemerintah merupakan bentuk pelaksanaan dari Undang-undang. Adapun tahap penyusunannya adalah :
a. Tahap persiapan rancangan Peratuan Pemerintah (PP)
b. Rancangan PP disiapkan oleh Menteri sebagai pimpinan Departemen atau kepala lembaga pemerintah non departemen
c. Tahap penetapan dan pengundangan
PP ditetapkan Presiden (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945) kemudian diundangkan oleh Sekretaris Negara.
d. Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Perda dibentuk sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah. Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Masyarakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atas pembahasan rancangan Perda.
Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakkan hukum, seluruhnya atau sebagai kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undngan. Dalam membuat ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan dan denda paling banyak 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Setelah mendapat persetujuan bersama, Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama tujuh hari setelah ditetapkan. Apabila Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah melalui peraturan presiden (Perpres) paling lama enam puluh hari sejak diterimanya Perda tersebut.
Suatu rancangan undang-undang atau Rancangan peraturan daerah yang diusulkan memuat sistematika sebagai berikut :
a. Judul peraturan perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan dan nama peraturan perundang-undangan.
b. Pembukaan peraturan perundang-undangan memuat Frase dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Jabatan Pembentuk peraturan perundang-undangan, Konsiderans, Dasar hukum dan Diktum.
c. Batang tubuh peraturan perundang-undangan memuat semua substansi peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal-pasal.
d. Penutup peraturan perundang-undangan memuat rumusan perintah pengundangan, penandatanganan atau pengesahan, pengundangan dan akhir bagian penutup.
e. Penjelasan merupakan tafsiran resmi terhadap suatu peraturan perundang-undangan, penjelasan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam membuat peraturan lebih lanjut.
f. Lampiran dimuat apabila memang diperlukan dan harus dinyatakan dalam batang tubuh.
B. KEBIJAKAN PENDIDIKAN POLITIK DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN
Keberadaan negara tidak terlepas dari proses politik. Agar warganegara mengetahui dan memahami proses politik dalam kehidupan bernegara, maka perlu diberikan pendidikan politik. Dengan demikian, maka pendidikan politik di suatu negara memegang peranan penting, lebih-lebih bagi negara yang menganut sistem demokrasi, pendidikan politik menjadi keharusan dan kebutuhan bagi warganegara. Dikatakan keharusan karena rakyat sebagai pemegang kekuasaan dan dikatakan kebutuhan karena rakyat membutuhkan perlakuan politik yang wajar dari pemerintah (negara). Sehingga dengan pendidikan politik rakyat akan mengetahui kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan dan bagaimana cara melaksanakan kekuasaannya itu serta apa saja yang dibutuhkannya sebagai warganegara.
Ada beberapa istilah tentang pendidikan politik yang dikemukakan oleh para pakar. Alfian (1986: 243-245) menyebut beberapa istilah untuk pendidikan politik, yaitu: “Sosialisasi politik, pendidikan politik, kebudayaan politik, dan pembangunan politik yang satu sama lain ada relevansinya”. Menurut Alfian (1981:235), “Pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun”. Dengan demikian, pendidikan politik menurut Alfian sama dengan sosialisasi politik, yaitu proses menyampaikan atau menyebarkan program-program pemerintah (penguasa) kepada masyarakat dalam suatu sistem politik. Senada dengan Alfian, Wahab (1996:5) mengemukakan, bahwa: “Pendidikan politik secara umum adalah sosialisasi nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Kedua pendapat tersebut berkaitan erat dengan sosialisasi politik.
Berdasarkan pendapat tersebut, melalui sosialisasi politik masyarakat dibimbing dan diarahkan bagaimana seharusnya berpartisipasi dalam sistem politik. Demikian pula pewarisan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi penerus merupakan bagian dari sosialisasi politik. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gaffar (2000:118), bahwa: “Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, .”.
Menurut Rush & Althoff (1983:47), “Sosialisasi politik merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha yang saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politiknya yang relevan”. Dengan demikian, dalam sosialisasi politik ini terjadi interaksi timbal balik antara individu berdasarkan pengalaman politik yang relevan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa sosialisasi politik merupakan proses menyebarluaskan atau memasyarakatkan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam suatu sistem politik. Sosialisasi politik ini dapat dilakukan baik secara formal, informal, maupun nonformal melalui institusi keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (ormas), maupun partai politik (parpol).
Brownhill dan Smart (1989:9) mengemukakan bahwa “Pendidikan politik adalah sebagai suatu cara untuk mempertahankan keadaan yang tetap stabil pada suatu saat tertentu, serta diharapkan dapat memberikan dasar bagi proses demokrasi yang lebih maju”. Dengan demikian, pendidikan politik erat kaitannya dengan mempertahankan keadaan agar tetap stabil pada periode kekuasaan tertentu. Di sini terlihat kentalnya kepentingan kekuasaan melalui pendidikan politik.
Dari beberapa pendapat para ahli sebagaimana dikemukakan di atas, dapat penulis tarik kesimpulan, bahwa pendidikan politik adalah upaya pendidikan yang sistematis, berkesinambungan dan menyeluruh bagi setiap warganegara dalam rangka membentuk warganegara yang baik (good citizen) yaitu warganegara yang melek politik (political literacy), memiliki kesadaran politik (political awareness), dan berpartisipasi dalam kehidupan politik (political participation) secara cerdas dan bertanggung jawab.
Istilah lain untuk pendidikan politik yaitu pembangunan politik. Alfian (1986:243) menyatakan bahwa: “pendidikan politik dalam suatu masyarakat, itu sekaligus berarti pembangunan politik”. Menurut Affandi (2004:11), “Pembangunan politik merupakan proses penataan kehidupan pemerintah yang terus-menerus sesuai dengan pertumbuhan sosial politik masyarakat dan tidak dapat dibendung oleh suatu rezim tertentu yang menghendaki kekuasaan absolut”. Pendapat hampir senada dikemukakan oleh Almond dan Powel (Huntington, 1985:92), yang menyatakan bahwa: “Pembangunan politik adalah respons sistem politik terhadap perubahan-perubahan dalam lingkungan masyarakat dan internasional, terutama respons sistem terhadap tantangan-tantangan pembinaan negara, pembinaan bangsa, partisipasi dan distribusi”. Dari definisi tersebut jelas, bahwa perubahan yang selalu terjadi dalam kehidupan manusia harus di respons melalui pembangunan politik (pendidikan politik), sehingga manusia sebagai warganegara dan warga dunia dapat menyikapi perubahan yang terjadi secara cerdas dan bertanggung jawab.
Pendidikan politik disebut sebagai kebudayaan (budaya) politik, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam pandangan Almond dan Verba (Sjamsuddin, 1991:21) “Budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warganegara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warganegara di dalam sistem itu”. Dengan demikian, terbentuknya sikap warganegara terhadap sistem politik adalah melalui pendidikan politik baik di sengaja ataupun tidak.
Dari uraian di atas, beragam istilah untuk pendidikan politik baik sosialisasi politik, kebudayaan politik, maupun pembangunan politik semuanya berkaitan dengan upaya untuk mewariskan nilai-nilai yang erat hubungannya dengan kehidupan politik kepada generasi muda sebagai generasi penerus kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga dapat menyikapi berbagai persoalan politik secara proporsional, cerdas, dan bertanggung jawab.
Pendidikan politik merupakan proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat ke arah pemahaman dan kesadaran berpolitik. Pendidikan politik merupakan syarat mutlak bagi timbulnya kehidupan demokrasi dan tumbuh kembangnya kehidupan rule of law. Kondisi tersebut akan terwujud apabila pendidikan politiknya dilaksanakan secara demokratis dan menjauhi hal-hal yang bersifat indoktrinasi.


C. SOSIALISASI PENDIDIKAN POLITIK
Menurut Rush & Althoff (1983:47), “Sosialisasi politik merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha yang saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politiknya yang relevan”. Dengan demikian, dalam sosialisasi politik ini terjadi interaksi timbal balik antara individu berdasarkan pengalaman politik yang relevan. Gaffar (2000:118), bahwa: “Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, .”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa sosialisasi politik merupakan proses menyebarluaskan atau memasyarakatkan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam suatu sistem politik. Sosialisasi politik ini dapat dilakukan baik secara formal, informal, maupun nonformal melalui institusi keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (ormas), maupun partai politik (parpol).
Sosialisasi pendidikan politik dilakukan oleh lembaga pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam melaksanakan pendidikan politik. Ditingkat persekolahan pendidikan politik selama ini dilaksanakan oleh mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Sosialisasi pendidikan politik juga dilakukan oleh partai politik. Menurut Miriam Budiardjo secara umum Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan mereka.
Sedangkan menurut pasal 1 UU nomor 31 tahun 2003 tentang partai politik, bahwa yang disebut partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.
Fungsi partai politik menurut Miriam Budiardjo adalah :
1) partai politik sebagai sarana komunikasi politik
Besarnya jumlah penduduk dalam suatu negara, menyebabkan aspirasi seseorang sulit untuk didengar. Oleh karenanya partai politik menampung aspirasi perorangan atau kelompok tersebut dan kemudian merumuskannya kembali untuk diperjuangkan. Partai politik juga dapat menjadi alat untuk menyampaikan kepentingan pemerintah kepada masyarakat.
2) partai politik sebagai sarana sosialisasi politik
di dalam ilmu politik sosialisasi politik adalah proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses ini berlangsung mulia dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Sosialisasi politik oleh partai politik bisa berupa pengenalan program-program partai politik dengan harapan masyarakat dapat memiliki pengetahuan tentang politik dan partai politik dalam membangun bangsa.
3) partai politik sebagai sarana perekrutan politik
dalam fungsi ini partai politik mencari anggota baru dan mengajak orang berbakat. Hal itu dapat di diperoleh melalui kontak pribadi, persuasi dan organisasi massa. Dalam perekrutan anggota juga diusahakan menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pemimpin lama.
4) partai politik sebagai sarana pengatur konflik
Dalam sebuah negara demokratis, perbedaan dan persaingan pendapat dalam masyarakat adalah sesuatu yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya.
Menurut UU No 31 tahun 2003 fungsi partai politik adalah sebagai berikut :
1) pendidikan politik bagi anggotanya
2) penciptaan iklim kondusif dan perekat persatuan dan kesatuan
3) penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstistusional.
4) partisipasi politik warga negara
5) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrsi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Dalam masa kolonial Belanda partai politik (parpol) merupa¬kan sarana yang relatip baru untuk melakukan pendidikan politik dan mobilisasi politik didalam rangka perjuangan kemerdekaan. Dalam periode selanjutnya, masa pendudukan Jepang, pemerintah militer melarang kegiatan parpol namun corak kegiatan parpol tetap berkembang di dalam gerakan-gerakan di bawah tanah.
Setelah proklamasi kemerdekaan, lahirlah beberapa parpol yang sebenarnya dalam banyak segi masih merupakan kelanjutan dari parpol-parpol yang pernah berperan di zaman kolonial Be¬landa dan pendudukan Jepang. Kalaupun muncul parpol baru kebanyakan pemimpinnya telah memiliki pengalaman dalam parpol di masa-masa sebelumnya. Semenjak itulah parpol terus berkembang dalam pasang surutnya pelbagai perubahan politik hingga sampai ke masa sekarang ini.
Huttington dalam Bambang Cipto (1996:4) mengklasifikasikan pertumbuhan dan perkembangan partai kedalam empat tahap, yakni tahap faksional, tahap polarisasi, tahap perluasan dan tahap pelembagaan. Fungsi partai politik menurut Palmer adalah menyediakan 1) dukungan basis massa yang stabil, 2) sarana integrasi dan mobilisasi dan 3) memelihara kelangsungan kehidupan politik.
Tumbuh dan berkembangnya partai politik tidak terlepas dengan kondisi masyarakat bangsa itu sendiri. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan tingkat heteroginitas (kemajemukan) yang sangat besar. Perbedaan suku-bangsa, agama, regional dan pelapisan sosial secara analitis dapat dibicarakan sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam kenyataan semuanya jalin menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi dasar bagi terjadinya pengelompokan dan sosialisasi politik masyarakat Indonesia.
D. KONTROL SOSIAL TERHADAP PENDIDIKAN POLITIK
Masyarakat yang menyadari akan hak dan kewajibannya serta aktif berpartisipasi dalam kehidupan kenegaraan merupakan salah satu ciri dari masyarakat demokratis atau civil society (masyarakat sipil). Masyarakat sipil adalah masyarakat yang bercirikan besarnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan yang menyangkut masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat sipil pemerintah bertindak secara demokratis dan rakyat bertindak sebagai penentu kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebijakan publik termasuk dalam hal pendidikan politik yang telah dirumuskan dan ditetapkan akan menjadi tidak berguna apabila tidak dilakanakan serta tidak diawasi oleh masyarakat itu sendiri. Kebijakan publik ditujukan dan harus dilaksanakan oleh masyarakat. Tujuan dibuatnya kebijakan publik akan cepat tercapai apabila didukung dan dilaksanakan masyarakat.
Pelaksanaan pendidikan politik harus dievaluasi. Evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan politik dimaksudkan untuk menilai apakah pendidikan politik berhasil ataukah tidak, misalnya apakah hanya sebagai alat kepentingan penguasa atau untuk kepentingan bangsa dan negara. Bila pendidikan politik berdampak positif maka kebijakan itu dapat terus dilaksanakan. Namun jika berdampak negatif maka pemerintah dapat merubah atau mengganti kebijakan tersebut. Oleh karenanya agar pendidikan politik sesuai dengan yang diharapkan maka semua proses penyusunan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pendidikan politik harus mengikutsertakan masyarakat sesuai dengan mekanisme yang ditentukan.
E. KESADARAN PENDIDIKAN POLITIK
Berhasil tidaknya pendidikan politik mewujudkan tujuan yang diharapkan tergantung kesadaran akan pentingnya proses politik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dari seluruh komponen bangsa. Alfian (1981:236), mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
Keberhasilan pendidikan politik antara lain ditentukan oleh adanya suatu perspektif yang jelas dan bisa diperoleh melalui dua dimensi. Dimensi pertama berupa gambaran jelas tentang sistem politik ideal yang diinginkan. Dimensi kedua ialah realita atau keadaan sebenarnya dari masyarakat itu sendiri yang langsung bisa diperbandingkan dengan tuntutan-tuntutan sistem ideal tadi.
Pernyataan di atas menegaskan relevansi antara gambaran tentang sistem politik yang ideal (das sollen) dengan keadaan sebenarnya yang berkembang dalam masyarakat (das sein) merupakan faktor penting untuk keberhasilan pendidikan politik. Tanpa itu, tujuan pendidikan politik untuk mewujudkan warganegara yang baik hanya berupa angan-angan belaka. Untuk itu meminimalisasi kesenjangan antara gambaran sistem politik yang ideal dengan realitas yang berkembang di masyarakat merupakan salah satu langkah yang tepat untuk mewujudkan tujuan pendidikan politik.
F. EFEKTIVITAS PENDIDIKAN POLITIK
- PERAN APARAT PENDIDIKAN
Bangsa Indonesia memiliki luas wilayah yang sangat besar dan dengan jumlah penduduk lebih dari 210 juta yang diwarnai perbedaan suku, agama, ras dan golongan. Luas wilayah dan heterogenitas bangsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang memiliki kompleksitas permasalahan yang tinggi. Oleh karenanya seorang pemimpin di Indonesia harus memiliki kemampuan dan kepribadian yang luar biasa.
UU No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Telah menentukan syarat yang begitu ideal bagaimana syarat seorang calon Presiden. UU tersebut menegaskan bahwa seorang pemimpin (presiden) tidak hanya harus mampu secara fisik akan tetapi juga ia harus bersih dalam sikap dan perilaku. Syarat dan idealitas seorang pemimpin sebenarnya tidak hanya harus dimiliki oleh seorang calon Presiden saja, melainkan juga harus dimiliki oleh semua pemimpin di Indonesia.
Seorang pemimpin yang teladan dalam menjalankan pemerintahannya merupakan contoh yang baik dan dapat dijadikan alat dalam mendidik warga negaranya untuk melek politik serta berpartisipasi politik secara positip. Aparat pendidikan tidak dalam tataran yang lebih luas mulai dari pembuat kebijakan pendidikan sampai dengan para guru dipersekolahan.
Seorang guru teladan merupakan contoh yang baik bagi siswanya, namun guru juga harus lebih kreatif dalam melaksanakan pendidikan politik ini. Kreatifitas guru dalam melaksanakan pendidikan politik dibutuhkan agar pendidikan politik tidak terjebak menjadi indoktrinatif.

- PERAN LEMBAGA LEMBAGA PENDIDIKAN
Lembaga pendidikan yang dimaksud disini, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan sebagai sarana pembelajaran dan juga sarana sosialisasi nilai, pengetahuan dan keterampilan memiliki peran yang strategis dalam melaksanakan pendidikan politik. Ditingkat persekolahan pendidikan politik selama ini diwakili oleh mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Efektivitas pelaksanaan pendidikan politik di lembaga pendidikan pada saat ini menghadapi kendala diantaranya, secara praksis bahwa PKn merupakan pendidikan politik masih lemah. Hal ini dapat dilihat dari persentase pendidikan politik dalam PKn. Dalam praktek pembelajarannya PKn juga diberikan waktu yang sangat sedikit yaitu hanya dua jam dalam seminggu. Waktu ini sangat terbatas dibandingkan dengan target kurikulum yang harus digapai.
Disamping dua masalah diatas, PKn juga dihadapkan dengan realitas masih adanya lembaga pendidikan yang memandang sebelah mata terhadap PKn, seperti dengan sering terjadinya guru PKn bukan sarjana dari Pendidikan PKn itu sendiri. Yang lebih ironis adalah beberapa sekolah mengajarkan PKn hanya melalui modul. Pembelajaran PKn melalui modul tidaklah memadai, karena Pendidikan politik tidak hanya mengajarkan bahwa siswa itu tahu politik tetapi juga harus dapat menghantarkan siswa untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik.

- PERAN LEMBAGA-LEMBAGA SOSIAL PENDIDIKAN
Lembaga-lembaga sosial pendidikan, dapat berperan lebih jauh untuk melaksanakan pendidikan politik. Peran lembaga sosial pendidikan ini akan lebih efektif karena tidak tergantung dengan kepentingan pemerintah semata, melainkan dapat mengkoreksi berbagai kelemahan yang dilakukan pemerintah dalam pelaksnaan pendidikan politik. Hal ini dapat dilakukan karena lembaga sosial pendidikan tidak memiliki ketergantungan yang signifikan terhadap pemerintah.
Efektivitas lembaga sosial pendidikan akan meningkat, manakala partisipasi lembaga sosial pendidikan dalam mewujudkan pendidikan politik ditujukan untuk memperkuat fundamen kebangsaan bukan kepentingan golongan semata. Untuk mewujudkan bahwa lembaga sosial pendidikan hanya mengedepankan kepentingan kebangsaan semata maka nilai netralitas lembaga sosial pendidikan harus dikedepankan.

- PERAN MASYARAKAT
Hak dan peran kita sebagai warga negara untuk turut serta mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat semakin terbuka lebar semenjak amandemen UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) dan pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945 memberikan jaminan hukum kepada kita untuk mewujudkan demokrasi. Rakyatlah pemilik syah negara Republik Indonesia, oleh karenanya kita sebagai bagian dari rakyat wajib berperan serta mewujudkan terciptanya tatanan kehidupan negara yang lebih baik. Kedaulatan dan hak rakyat akan tercipta manakala amanah UUD 1945 pasal 27 sampai denga 34 telah terlaksana dengan baik. Pasal tersebut menjamin hak dan kewajiban kita sebagai warga negara.
Kita juga tidak boleh hanya menuntut hak akan tetapi harus diimbangi dengan pelaksanaan kewajiban terhadap negara. Salah satu kewajiban warga negara adalah seperti membayar pajak dan membela negara. Kita juga memiliki kewajiban untuk mengawal pelaksanaan kontitusi agar sesuai dengan harapan masyarakat. Cara masyarakat mengawal konstitusi adalah dengan menumbuhkan kesadaran bernegara maupun dalam pemerintahan.
Masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintahan, yaitu dengan jalan :
1. memilih wakil rakyat yang akan duduk di lembaga negara
2. memberikan masukan terhadap kompetensi dan kepribadian seorang calon pejabat negara ketika diadakannya uji kelayakan dan kepatutan.
3. memberikan masukan terhadap jalannya pemerintahan.
4. mengakses data dan informasi arah penyelanggaran pemenrintahan
Dalan lingkup yang lebih kecil peran masyarakat dibangun dengan kepedulian terhadap jalannya pemerintahan dalam lingkungan masyarakat seperti RT, RW atau Desa/kelurahan. Masyarakat harus memiliki kemampuan minimal untuk berperan serta dalam kehidupan bernegara demi tegaknya demokrasi dan kedaulatan rakyat.
G. KEPASTIAN HUKUM DALAM PENDIDIKAN POLITIK
Pendidikan politik di Indonesia sebagai bidang kajian dan mata pelajaran tersendiri belum memiliki landasan hukum yang pasti. Pendidikan politik selama ini baru diwakili dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan kewarganegaraan merupakan nama mata pelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan mata kuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37). Ketentuan ini lebih jelas dan diperkuat lagi pada Pasal 37 bagian Penjelasan dari Undang-Undang tersebut bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”.
Sebelumnya dalam Penjelasan pasal 39 UU no. 2 tahun 1989, Pendidikan Kewarganegaraan dalam sudut politik, dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar, dalam proses penyiapan warga Negara tersebut. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
Sebagai bagian integral dari pendidikan nasional, maka tujuan pendidikan politik harus sejalan dan merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencedaskan kehidupan bangsa, betujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokatis serta bertanggung jawab.
Senada dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tersebut di atas, menurut Wahab (1996:9), “... pendidikan politik bertujuan membentuk warganegara yang baik, yaitu warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan dengan baik hak-hak dan kewajibannya sebagai individu warganegara”. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kantaprawira (2002:55) yang menyatakan, bahwa: “Pendidikan politik, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya”. Dengan demikian, terwujudnya warganegara yang baik (good citizen) yaitu warganegara yang melek politik, memiliki kesadaran politik, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik merupakan tujuan utama dari pendidikan politik.
Tujuan pendidikan politik bagi generasi muda menurut Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik Generasi Muda ialah sebagai berikut:
Tujuan pendidikan politik ini ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha membangun manusia Indonesia seutuhnya yang perwujudannya akan terlihat dalam perilaku hidup bermasyarakat sebagai berikut:
a. Sadar akan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya sebagai warganegara terhadap kepentingan bangsa dan negara.
b. Sadar dan taat terhadap hukum dan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Memiliki disiplin pribadi, sosial dan nasional.
d. Memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan yang disesuaikan dengan kemampuan objektif bangsa saat ini.
e. Mendukung kehidupan nasional yang demokratis sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
f. Berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam pembangunan nasional.
g. Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan keanekaragaman bangsa.
h. Sadar akan perlu pemeliharaan lingkungan hidup dan alam sekitar secara selaras, serasi, dan seimbang.
i. Mampu melakukan penilaian terhadap gagasan, nilai serta ancaman yang bersumber dari idiologi lain di luar Pancasila dan UUD 1945, atas dasar pola pikir atau penalaran logis mengenai Pancasila dan UUD 1945 (Kansil, 1986:197-198).
Berdasarkan gambaran tersebut, pendidikan politik sebagai bagian integral dari seluruh proses pembangunan bangsa dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia bertujuan membangun generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa pendidikan politik bertujuan membentuk warganegara yang baik, yaitu warganegara yang melek politik, memiliki kesadaran politik, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik secara bertanggung jawab.





Daftar Pustaka
Affandi, Idrus. (1996). Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan Politik. Disertasi PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Alfian. (1981). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

-------. (1986). Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

-------. (1993). Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Almond, Gabriel A. dan Verba, S. (eds) (1963) The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, Princeton,NJ: Princenton University Press.

Apter, David A. (1996) Pengantar Analisa Politik, Diterjemahkan Oleh Setiawan Abadi, Jakarta: LP3ES.

Bambang Cipto. 1996. Prospek dan Tantangan Partai Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiardjo, Miriam (2000) Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia.

Brownhill, Robert and Patricia Smart. (1989). Political Education. London: Routledge.

Daniel Dhakidae. 1999 “Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi dan Program. Edisi Pemilihan Umum”. Jakarta: Litbang Kompas.

Dhal, Rober, A. (1994) Analisis Politik Modern, Alih Bahasa: Mustafa Kamil Ridwan, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Gaffar, Affan. (2000). Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haricahyono, Chepy, (1991) Ilmu Politik dan Perspektifnya, Yogyakarta: Tiarawacana.

Hobbes, Thomas (1934 [1651]) Leviathan, Oxford: The Clarendon Press.

Huntington, Samuel, P (1991) The Third Wafe: Democratization in the Late Twentieth Century, London: Hutchinson & Co, Ltd.

H.A.R. Tilaar,2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta.

Iswara, F. (1974) Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Dwiwantara.

Inu Kencana. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung: refika Aditama.

Kattsoff, Louis, O. (1996) Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana

Kleden, Ignas (2001) Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kantaprawira, Rusadi. (1997). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Lijphart, Arend (2000) “Partai Politik” dalam Adam Kupper dan Jessica Kupper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlmn 731-733.

Lipset, S. dan Rokkan, S. (eds) (1967) Party System and Voter Alignments, New York: Oxford University Press.

Mahrus Irsyam, Dkk. 1985. Sejarah Kepartaian di Indonesia. Jakarta : Dikbud

Mochtar Mas’oed. 2006. Perbandingan Sistem Politik. Yogya: Gadjah Mada Press

M. Sirozi, Ph.D., 2005. Politik Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Pranarka A.M.W, (1985). “Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila”. Jakarta : CSIS.

Surbakti, Ramlan, (1996) “Perkembangan Mutakhir Ilmu Politik”, dalam Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti (ed), Teori-teori Politik Dewasa Ini, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Penyusunan Perundang-undangan.

UU No. 31 tahun 2003 tentang Partai Politik.

Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik Generasi Muda

Falsafah Mao

Mao sebenarnya bukan seorang filsuf yang orisinil. Gagasan-gagasannya berdasarkan bapak-bapak sosialisme lainnya seperti Karl Marx, Friedrich Engels, Lenin dan Stalin. Tetapi ia banyak berpikir tentang materialisme dialektik yang menjadi dasar sosialisme dan penerapan gagasan-gagasan ini dalam praktek seperti dikerjakan Mao bisa dikatakan orisinil. Mao bisa pula dikatakan seorang filsuf Tiongkok yang pengaruhnya paling besar dalam Abad ke 20 ini.
Konsep falsafi Mao yang terpenting adalah konflik. Menurutnya: “Konflik bersifat semesta dan absolut, hal ini ada dalam proses perkembangan semua barang dan merasuki semua proses dari mula sampai akhir.” Model sejarah Karl Marx juga berdasarkan prinsip konflik: kelas yang menindas dan kelas yang tertindas, kapital dan pekerjaan berada dalam sebuah konflik kekal. Pada suatu saat hal ini akan menjurus pada sebuah krisis dan kaum pekerja akan menang. Pada akhirnya situasi baru ini akan menjurus kepada sebuah krisis lagi, tetapi secara logis semua proses akhirnya menurut Mao, akan membawa kita kepada sebuah keseimbangan yang stabil dan harmonis. Mao jadi berpendapat bahwa semua konflik bersifat semesta dan absolut, jadi dengan kata lain bersifat abadi. Konsep konflik Mao ini ada kemiripannya dengan konsep falsafi yin-yang. Semuanya terdengar seperti sebuah dogma kepercayaan. Di bawah ini disajikan sebuah cuplikan tentang pemikirannya tentang konflik.
Dalam ilmu pengetahuan semuanya dibagi berdasarkan konflik-konflik tertentu yang melekat kepada obyek-obyek penelitian masing-masing. Konflik jadi merupakan dasar daripada sesuatu bentuk disiplin ilmu pengetahuan. Di sini bisa disajikan beberapa contoh: bilangan negatif dan positif dalam matematika, aksi dan reaksi dalam ilmu mekanika, aliran listrik positif dan negatifa dalam ilmu fisika, daya tarik dan daya tolak dalam ilmu kimia, konflik kelas dalam ilmu sosial, penyerangan dan pertahanan dalam ilmu perang, idealisme dan materialisme serta perspektif metafisika dan dialektik dalam ilmu filsafat dan seterusnya. Ini semua obyek penelitian disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang berbeda-beda karena setiap disiplin memiliki konfliknya yang spesifik dan esensi atau intisarinya masing-masing.
Contoh-contoh yang diberikan oleh Mao Zedong mengenai 'konflik' dalam disiplin yang berbeda-beda diambilnya dari Lenin. Beberapa analogi memang pas tetapi yang lain-lain tidak. Bilangan-bilangan negatif dan positif merupakan sebuah contoh yang buruk mengenai dialektika marxisme karena perbedaan mereka tidak dinamis: hanya ada bilangan-bilangan negatif dan positif baru yang bermunculan. Pendapat Mao menjadi meragukan lagi apabila ia mengatakan bahwa 'konflik'-'konflik' ini merupakan 'intisari' daripada disiplin ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Bilangan negatif dan positif bukanlah intisari ilmu matematika, begitu pula metafisika dan dialektika bukanlah intisari dari filsafat. Mao adalah seseorang yang terpelajar dan pengertian-pengertiannya yang salah bisa diterangkan dari sebab ia sangat terobsesi dengan konsep konflik ini. Obsesi ini juga mempengaruhi keputusan-keputusan politiknya seperti akan dipaparkan di bawah nanti.

Konsep Yin Yang mempengaruhi pandangan falsafi Mao Zedong.
Konsep Mao kedua yang penting adalah konsepnya mengenai pengetahuan yang juga ia ambil dari faham Marxisme. Mao berpendapat bahwa pengetahuan merupakan lanjutan dari pengalaman di alam fisik dan bahwa pengalaman itu sama dengan keterlibatan.
Jika engkau mencari pengetahuan maka engkau harus terlibat dengan keadaan situasi yang berubah. Jika kau ingin mengetahui bagaimana sebuah jambu rasanya, maka jambu itu harus diubah dengan cara memakannya. Jika engkau ingin mengetahui sebuah struktur atom, maka engkau harus melakukan eksperimen-eksperimen fisika dan kimia untuk mengubah status atom ini. Jika engkau ingin mengetahui teori dan metoed revolusi, maka engkau harus mengikutinya. Semua pengetahuan sejati muncul dari pengalaman langsung.
Hanya setelah seseorang mendapatkan pengalaman, maka ia baru bisa melompat ke depan. Setelah itu pengathuan dipraktekkan kembali yang membuat seseorang mendapatkan pengalaman lagi dan seterusnya. Di sini diperlihatkan bahwa Mao tidak saja mengenal paham Marxisme tetapi juga paham neokonfusianisme seperti dikemukakan oleh Wang Yangmin yang hidup pada abad ke 15 sampai ke abad ke 16.
Mao dan Kebijakan Politiknya
Mao membedakan dua jenis konflik; konflik antagonis dan konflik non-antagonis. Konflik antagonis menurutnya hanya bisa dipecahkan dengan sebuah pertempuran saja sedangkan konflik non-antagonis bisa dipecahkan dengan sebuah diskusi. Menurut Mao konflik antara para buruh dan pekerja dengan kaum kapitalis adalah sebuah konflik antagonis sedangkan konflik antara rakyat Tiongkok dengan Partai adalah sebuah konflik non-antagonis.
Pada tahun 1956 Mao memperkenalkan sebuah kebijakan politik baru di mana kaum intelektual boleh mengeluarkan pendapat mereka sebagai kompromis terhadap Partai yang menekannya karena ingin menghindari penindasan kejam disertai dengan motto: “Biarkan seratus bunga berkembang dan seratus pikiran yang berbeda-beda bersaing.” Tetapi ironisnya kebijakan politik ini gagal: kaum intelektual merasa tidak puas dan banyak mengeluarkan kritik. Mao sendiri berpendapat bahwa ia telah dikhianati oleh mereka dan ia membalas dendam. Sekitar 700.000 anggota kaum intelektual ditangkapinya dan disuruh bekerja paksa di daerah pedesaan.
Mao percaya akan sebuah revolusi yang kekal sifatnya. Ia juga percaya bahwa setiap revolusi pasti menghasilkan kaum kontra-revolusioner. Oleh karena itu secara teratur ia memberantas dan menangkapi apa yang ia anggap lawan-lawan politiknya dan para pengkhianat atau kaum kontra-revolusioner. Peristiwa yang paling dramatis dan mengenaskan hati ialah peristiwa Revolusi Kebudayaan yang terjadi pada tahun 1966. Pada tahun 1960an para mahasiswa di seluruh dunia memang pada senang-senangnya memberontak terhadap apa yang mereka anggap The Establishment atau kaum yang memerintah. Begitu pula di Tiongkok. Bedanya di Tiongkok mereka didukung oleh para dosen-dosen mereka dan pembesar-pembesar Partai termasuk Mao sendiri. Para mahasiswa dan dosen mendirikan apa yang disebut Garda Merah, yaitu sebuah unit paramiliter. Dibekali dengan Buku Merah Mao, mereka menyerang antek-antek kapitalisme dan pengaruh-pengaruh Barat serta kaum kontra-revolusioner lainnya. Sebagai contoh fanatisme mereka, mereka antara lain menolak berhenti di jalan raya apabila lampu merah menyala karena mereka berpendapat bahwa warna merah, yang merupakan simbol sosialisme tidak mungkin mengartikan sesuatu yang berhenti. Maka para anggota Garda Merah ini pada tahun 1966 sangat membabi buta dalam memberantas kaum kontra revolusioner sehingga negara Tiongkok dalam keadaan amat genting dan hampir hancur; ekonominyapun tak jalan. Akhirnya Mao terpaksa menurunkan Tentara Pembebasan Rakyat untuk menanggulangi mereka dan membendung fanatisme mereka. Hasilnya adalah perang saudara yang baru berakhir pada tahun 1968.

Bedah Buku Dibawah Bendera Revolusi "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme"

Bedah Buku
Dibawah Bendera Revolusi
"Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme"

Artikel Bung Karno yang berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, (DBR I hal. 1-23) yang ditulis tahun 1926 memang merupakan salah satu artikel yang cukup menarik untuk dibedah karena materi yang terkandung sangatlah relevan dengan fenomena ketatanegaraan Indonesia saat ini, dimana kekuatan-kekuatan ideologi (kiri) kembali mencuat ke muka setelah tiga dekade sempat terkubur dalam kepemimpinan rejim tiran.
Artikel ini juga menjadi sangat penting karena memuat sebuah gagasan dasar yang kelak akan menjadi landasan konsep kebangsaan Indonesia. Dalam artikel tersebut Bung Karno mencoba menyatukan tiga kekuatan besar yang ada di Indonesia pada saat itu dalam satu front nasional, yaitu nasionalis, Islam, dan marxis (kelak akan disempurnakan dalam sebuah strategi persatuan "Nasakom").
Gagasan penyatuan kekuatan oleh Bung Karno itu pada dasarnya didasarkan pada sebuah fakta sejarah dimana pergerakan nasional saat itu sulit mencapai kristalisasi perjuangan akibat tidak mampu bersinerginya kekuatan-kekuatan nasional yang ada. Sehingga pergerakan nasional menjadi parsial dan cenderung fragmentatif. Untuk itu, Bung Karno merasa perlu menyatukannya, dengan harapan gerakan dapat kembali massif melawan imperium kapitalis.
Langkah yang dipakai Bung Karno dalam upaya menyatukan tiga kekuatan tersebut sangatlah brilian karena ia berhasil membedahnya dalam perspektif masing-masing kekuatan. Sehingga kesamaan-kesamaan prinsip kembali ditemukan dan ditegaskan untuk kemudian disatukan sebagai satu keharusan sejarah (historische notwendigkeit).
*********
Kekuatan yang pertama dibedah Bung Karno adalah nasionalis. Dalam membedah nasionalisme tersebut, bung Karno mengawalinya dengan menceritakan sejarah munculnya paham nasionalisme dengan mengutip pernyataan Ernest Renan (1882), seorang filusuf Perancis dan Otto Bauer (kelompok Austromarxis). Renan memunculkan satu teori bahwa munculnya satu bangsa karena adanya perasaan ingin hidup bersama (bersatu). Sementara Bauer menyatakan bahwa munculnya suatu bangsa itu bukan semata-mata hanya karena adanya kesamaan ras, bahasa, suku, agama ataupun kebutuhan, tetapi lebih dari itu, timbulnya bangsa karena adanya kesamaan riwayat (sejarah) bersama. Dan teori Renan dan Bauer ini ternyata relevan di kemudian hari dengan sejarah berdirinya bangsa Indonesia atas kesamaan nasib (sejarah) sebagai bangsa yang tertindas.
Dalam perkembangan faham nasionalisme berikutnya, ternyata bung Karno tertarik dengan nasionalismenya Gandhi. Ketertarikanya didasarkan pada pemikiran Gandhi yang memanifestasikan rasa nasionalismenya dengan mencintai manusia dan kemanusiaan (humanisme), tanpa membedakan ras, suku maupun agama (pendek kata universal). Dari pemikiran Gandhi ini, kemudian bung Karno menyempurnakannya lagi, yang dikemudian hari akan menjadi roh kaum nasionalis Indonesia. Penyempurnaan itu dilakukan dengan cara menambah dua bagian lagi dari makna nasionalismenya Gandhi.

Bagian pertama : rasa cinta tanah air harus berdasarkan manusia dan kemanusiaan (sama dengan Gandhi).
Bagian kedua : rasa cinta tanah air harus bersendikan pengetahuan atas perekonomian dunia dan riwayat (sejarah). Maksudnya dari bagian kedua ini, bung Karno menginginkan munculnya rasa nasionalisme bukan hanya karena perasaan emosional saja, melainkan dari satu kesadaran atas pengetahuan terhadap sejarah ekonomi dunia yang penuh dengan penindasan dan eksploitasi.
Bagian ketiga : rasa cinta tanah air Indonesia bukanlah copy (tiruan) dari nasionalisme barat. Maksud Sukarno adalah, nasionalisme Indonesia tidak boleh bersifat chauvist sebagaimana yang terjadi di dunia barat (eropa), sebuah nasionalisme yang hanya didasari semangat memerangi bangsa lain. Sifat-sifat chauvinisme bangsa eropa ini mengingatkan kita pada sebuah teori Il Principe (Sang Penguasa) Niccolo di Bernando Machiavelli (1496-1557), seorang filusuf jaman renaissance kebangsaan Italia. Dalam teorinya, ia mengemukakan bahwa kekuasaan diijinkan menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya (cikal bakal teori absolutisme). Bagi Machiavelli, moral dan etika harus diabaikan dalam persoalan politik dan kekuasaan. Teori inilah yang kemudian mungkin dijadikan legitimasi dan justifikasi politik kaum imperialis untuk menjajah negara-negara dunia ketiga berabad-abad lamanya. Dan sifat nasionalisme ini pulalah yang membuat tidak pernah damainya eropa akibat peperangan yang tidak pernah kunjung usai, mulai dari jaman imperium Romawi sampai dengan perang dunia II. Gold, Glory n' Gospel menjadi sebuah slogan yang selalu menyemangati setiap peperangan-peperangan di eropa dalam sebuah perdebatan wilayah.
Dari pemahaman tentang nasionalisme tersebut di atas, jelaslah bagi kita bahwa nasionalisme Indonesia ternyata bersifat humanis, revolusioner dan tidak chauvis. Untuk itulah, maka bung Karno akan menyalahkan kaum nasionalis jika ia tidak mau bekerjasama dengan kaum marxis, Islam maupun kelompok lainnya. Karena dengan faham nasionalisme seperti itu, maka siapapun harus menjadi kawan bagi kaum nasionalis selama kapitalisme menjadi musuh bersamanya dan kemanusiaan menjadi landasan perjuangannya.
Jika alasan kaum nasionalis saat ini tidak mau bekerjasama dengan kaum Islam hanya karena alasan kekhawatiran kaum nasionalis terhadap kaum Islam yang akan membawa-bawa agama dalam persoalan politik nantinya, dianggap oleh Bung Karno sebagai sebuah pandangan yang salah. Sebab Islam yang sebenarnya tidaklah demikian. Justru Islam (agama) bagi Bung Karno harus dijadikan dasar nation and caracter building, karena nilai-nilai agama memang membawa nilai-nilai universal yang humanis dan transenden. Hanya saja, Islam di Indonesia memang masih belum menunjukkan api (roh)-nya, karena masih tercampur baur dengan feodalisme. Pandangan Bung Karno tentang Islam dapat dilihat melalui artikel-artikel lainnya di DBR I, antara lain : surat-surat Islam dari Ende, me-muda-kan pengertian Islam, masyarakat onta dan kapal udara, apa sebab Turki memisahkan agama dari negara ?, dan beberapa lagi diantaranya, yang kesemuanya nanti akan kita bedah pula.
Yang paling menarik adalah artikel berjudul : Apa sebab Turki memisahkan agama dari negara (DBR I hal.1-23). Disana secara implisit kita dapat melihat alasan Bung Karno mengapa ia menolak negara Islam. Ia mencontohkan Kamal Ataturk di Turki yang selalu kesulitan membangun negaranya akibat ulah tokoh agama yang seringkali melarangnya membuat kebijakan publik karena dianggap menyalahi agama walaupun kebijakan itu bersifat menolong rakyatnya. Setiap kali negara mengambil keputusan, selalu harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pada ulama untuk ditentukan apakah sunnah, halal, makruh ataukah haram.
Akibatnya Turki menjadi tidak dinamis dan sulit berkembang. Bahkan di Saudi Arabia, pernah Ibnu Saud dilarang para ulama mendirikan tiang radio hanya karena dianggap makruh. Lebih parah lagi, di Turki, pemerintah juga pernah dilarang mendatangkan para dokter untuk mengobati rakyatnya yang terkena penyakit pes karena ulama menganggapnya sebagai tindakan melawan takdir. Akibatnya Islam terpaksa kehilangan rohnya, bukan karena ajarannya, melainkan karena para ulamanya yang terlalu takut pada pembaharuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itulah kemudian Kamal Ataturk terpaksa memisahkan agama dari terminologi negara agar dapat mengembalikan api Islam yang sesungguhnya.
Itulah pandangan Bung Karno terhadap Islam dengan cara mencontohkan fenomena negara Turki. Dari sana dapat kita simpulkan bahwa yang diperlukan dari Islam adalah apinya untuk ikut membantu nation and caracter building dengan ajaran moral dan budi pekertinya yang luhur, humanis, sosialis, anti kapitalis dan sekaligus transenden (religius). Jadi tidak berupa simbol-simbol kosong belaka, yang justru malah akan mematikan ajaran Islam itu sendiri. Untuk membuktikan bahwa ajaran Islam itu humanis, sosialis dan anti kapitalis tersebut Bung Karno tidak segan-segan mencontohkan pelopor-pelopor pan-Islamisme seperti Sayyid Jamaluddin dan Muhammad Abduh.
Itulah Islam bagi bung Karno, dan itulah Islam yang harus dirangkul dan dipeluk sebagai kawan oleh kaum nasionalis. Kaum nasionalis India saja, yang mayoritas Hindustan, mau bekerjasama dengan kelompok pan-Islam India seperti Maulana Muhammad Ali dan Syaukat Ali, apalagi kaum nasionalis Indonesia yang mayoritas sama-sama penganut agama Islamnya.
**********
Setelah bung Karno berhasil membedah hubungan antara nasionalisme dan Islamisme, kemudian bung Karno mencoba membedah hubungan antara nasionalisme dan marxisme. Dalam artikelnya itu bung Karno secara tegas menerangkan bahwa tidak ada perbedaan yang prinsip antara kaum marxis dengan nasionalis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa dua kekuatan itu selalu mampu bersatu. Contohnya adalah sejarah revolusi China dimana kaum marxis kelompok Mao Tse Tung dapat bergandengan tangan dengan Kuomintang yang nasionalis pimpinan Sun Yat Sen melawan dinasti “tiran” Manchu. (mohon diingat : tulisan ini dibuat sebelum terjadinya perang saudara antara Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek melawan Kun Chan Tang pimpinan Mao Tse Tung).
Bahkan di Indonesia sendiri, buruh-buruh yang digerakkan kaum marxis untuk melawan hegemoni modal Belanda yang tertanam di perusahaan-perusahaan (mascappij) Indonesia, (lihat sejarah pemogokan karyawan kereta api oleh PKI di Semarang 1923), secara tidak langsung selaras (sinergi) dengan machtvorming yang dilakukan oleh kaum nasionalis. Karena kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin menyadarkan rakyat agar bersama-sama melawan kaum imperialis Belanda. Apalagi dengan adanya gerakan kaum buruh tersebut, sadar atau tidak, semangat nasionalisme telah tercipta dengan bersatunya kaum buruh Indonesia. Disini semakin jelas terlihat bahwa tidak ada persoalan yang prinsip bagi kaum nasionalis dan marxis untuk tidak saling bekerjasama. Bahkan secara tidak sadar dua kekuatan tersebut telah saling bahu-membahu dan dukung mendukung dalam satu proses perjuangan nasional.
Jika alasan kaum nasionalis tidak mau bekerjasama dengan kaum marxis hanya karena anggapan bahwa kaum marxis telah berkhianat karena telah mau bekerjasama dengan bangsa barat, dianggap sebagai satu hal yang salah kaprah oleh bung Karno. Disini bung Karno menegaskan, bahwa lawan sebenarnya adalah sistem (stelsel), bukan orangnya. Apalagi bangsa barat yang bekerjasama dengan kaum marxis Indonesia adalah bangsa-bangsa penganut marxis pula yang saat itu tergabung dalam commintern, jadi bukan bangsa bule yang menganut stelsel kapitalisme. Bagi bung Karno, siapapun orangnya, tidak peduli bangsa asing ataukah pribumi, jika ia kapitalis tentu saja akan menjadi musuh bersama (lihat artikel : kapitalisme bangsa sendiri, DBR I hal.181).
Namun bung Karno juga menyalahkan pandangan kaum marxis yang menganggap kaum nasionalis adalah kaum yang berpikiran sempit yang hanya memikirkan bangsanya sendiri ketimbang seluruh bangsa di dunia. Jelas pandangan ini tidak benar, karena memang nasionalisme Indonesia tidak chauvist. Nasionalisme Indonesia justru sangat humanis, dimana nilai-nilai kemanusiaan (zonder exploitation de lhomme par lhomme) dan perdamaian abadi (zonder exploitation de nation par nation) menjadi roh dan cita-citanya. Dan secara prinsip cita-cita kaum nasionalis ini ternyata tidak bertentangan dengan cita-cita kaum marxis itu sendiri, yang menginginkan terwujudnya sosialisme dunia melalui internationale-nya.
************
Setelah membedah hubungan nasionalisme dan marxisme, yang terakhir, bung Karno mencoba membedah hubungan antara Islamisme dan marxisme. Secara lugas bung Karno dapat menjelaskan bahwa ajaran-ajaran pokok marxisme pada dasarnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, justru sebaliknya malah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam itu sendiri.
Salah satu hal yang dikemukakan bung Karno adalah tentang masalah “teori nilai lebih” (surplus value/meewaarde). Nilai lebih yang selama ini menjadi dasar pemikiran kaum marxis dalam upaya memperjuangkan kaum buruh tersebut pada dasarnya tidak jauh beda dengan apa yang diistilahkan dengan riba dalam hukum Islam. Teori nilai lebih itu menjelaskan bagaimana nilai kerja yang dikeluarkan kaum buruh tidak sebanding dengan upah yang ia peroleh. Sebaliknya keuntungan dapat diperoleh secara berlipat-lipat oleh para pemilik modal. Inilah faktor keadilan yang digagas Marx dalam konsep teori nilai lebih itu. Dan menurut pandangan hukum Islam, nilai lebih atau riba, atau mengambil keuntungan dari yang bukan haknya, adalah satu hal yang dilarang oleh agama. Dan bung Karno menyitirnya dari salah satu ayat Al-Qur’an (al-Imran 129).
Lontaran bung Karno ini sama persis dengan apa yang dilontarkan oleh Tjokroaminoto dalam salah satu tulisannya yang juga mencari kesamaan antara Islam dan marxisme (1924). Hanya saja, Pak Tjokro sedikit menambahkan persamaan lagi yaitu mengenai tujuan marxisme untuk menghentikan penindasan dengan cara memerdekakan para buruh. Apa yang selama ini menjadi perjuangan kaum marxis itu pada dasarnya juga menjadi tujuan Islam dalam menjalankan hablum minannas-nya. Kaum Islam adalah kaum yang anti perbudakan. Bukti dari kaum Islam anti perbudakan itu, kita dapat melihatnya dari tindakan Nabi Muhammad saw sendiri yang telah memerdekakan seorang budak agar dia terhindar dari penindasan. Dari sini nampak bahwa apa yang dilakukan dan menjadi cita-cita kaum marxis sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam, walaupun cara-caranya tetap ala kaum marxis sendiri.
Bung Karno mengakui bahwa antara kaum Islam dan kaum marxis tetap memiliki perbedaan, khususnya mengenai asasnya. Jika Islam berasaskan spiritualisme, marxisme berasaskan materialisme. Namun bagi bung Karno perbedaan itu tidaklah menjadi halangan, selama cita-citanya adalah sama-sama sosialis dan musuhnya sama-sama kapitalis.
Jika saat ini kaum Islam enggan bekerjasama dengan kaum marxis karena alasan kaum marxis atheis, bung Karno mencoba meluruskannya bahwa kaum marxis pada dasarnya tidak atheis. Image atheis itu pada dasarnya tidak lebih sebagai implikasi propaganda kaum gereja yang sengaja mengaburkan antara faham wijgerig-materialisme dengan histories-materialisme. Padahal secara substantif keduanya memiliki arti yang sangat berbeda. Wijgerig-materialisme adalah cara berpikir untuk mencari tahu dimanakah pikiran itu berasal, sementara histories-materialisme mempelajari pertumbuhan pemikiran manusia. Namun kaum gereja sengaja mencampur adukkannya sehingga kemudian menimbulkan image bahwa kaum marxis adalah kaum yang men-Tuhan-kan materi dengan cara menyembah benda. Benda adalah segala-galanya dan keberadaan Tuhan sengaja dinegasikan.
Bagi bung Karno itu tidak benar, sebab historis materialisme yang dikemukakan Hegel yang kemudian disempurnakan oleh Marx melalui materialisme dialektikanya hanyalah sebuah pisau analisis saja dalam upaya membedah persoalan-persoalan penghisapan dalam kehidupan manusia yang tidak bisa dilepaskan dari masalah ekonomi. Sehingga dengan pisau analisis histories materialisme tersebut maka lahirlah sebuah teori baru yang mengupas penyebab penindasan kaum buruh dengan melahirkan teori nilai lebih (surplus value/meewaarde) dan prediksi dari implikasi penindasan tersebut (verelendung).
Polemik persepsi apakah komunisme atheis atau tidak, kita dapat meruntutnya dari kronologi sejarah pemikiran materialisme, mulai dari George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Ludwig Feurbach (1804-1872) dan Karl Marx sendiri (1818-1883). Jika mau jujur, adalah Feurbach yang paling radikal mengkritik agama. Kritik Feurbach ini disebabkan pada ketidakpuasannya pada Hegel. Bagi Feurbach, pemikiran Hegel yang menyatakan bahwa segala perbuatan, pemikiran dan tingkah laku manusia adalah kehendak “roh semesta” (Tuhan), dan manusia dianggap seperti wayang dan Tuhan adalah dalangnya, oleh Feurbach dianggap tidak rasional. Pemikiran Hegel itu ditentang Feurbach karena menurutnya Tuhan itu hanyalah replika angan-angan manusia. Dan agama adalah pikiran-pikiran ideal manusia tentang hakekatnya. Feurbach tidak setuju jika manusia menyembah Tuhan yang direkayasanya sendiri. Menurut Feurbach, jika manusia ingin lepas dari keterasingannya, manusia harus meniadakan agama, dan tidak perlu menyembah Tuhan, dialah yang harus menjadi Tuhan atas dirinya sendiri agar bisa menjalankan hakekat yang diyakininya.
Pemikiran Feurbach ini kemudian disempurnakan oleh Marx. Menurut Marx, tidak ada gunanya mengkritik agama, sebab nilai-nilainya mengajarkan kebaikan. Hanya saja menurut Marx, nilai-nilai tersebut tidak diwujudkan, melainkan disembah dan diharapkan berkahnya. Oleh karena itu Marx lebih sepakat mengkritik struktur masyarakat ketimbang agama. Kenapa manusia tidak menjalankan hakekatnya sebagaimana ajaran agama yang diyakininya ? Kenapa manusia hanya menyembah dan mengharap berkah dan menunggu takdir ? Itulah yang dicari Marx dalam struktur sosial.
Pemikiran Feurbach yang disempurnakan Marx inilah yang kemudian dijadikan senjata kaum gereja untuk memvonis komunis atheis. Dan propaganda kaum gereja ternyata efektif sehingga persepsi yang sengaja dibuat salah itu telah terlanjur menjadi persepsi umum masyarakat eropa, sehingga image negatif itu tetap tidak dapat dihapuskan, bahkan menjalar sampai ke Indonesia. Akibat ulah kaum gereja inilah yang kemudian membuat kaum marxis menjadi dendam dan semakin benci terhadap kaum gereja. Namun bagi bung Karno, kebencian kaum marxis tersebut tidak boleh digeneralisasi dengan keberadaan agama Islam di Indonesia. Sebab agama Islam di Indonesia bukanlah agama Katolik di eropa yang menjadi penguasa dan berkuasa, melainkan tertindas dan ditindas. Sehingga tidak perlu kaum marxis Indonesia ikut-ikutan membenci dan memusuhi kaum Islam Indonesia. Begitu pula sebaliknya, kaum Islam Indonesia tidak perlu lagi membenci kaum marxis Indonesia karena mereka memang bukan atheis, justru mereka mayoritas muslim, apalagi cita-cita dasarnya sama-sama sosialis dan musuhnya juga sama-sama kapitalis.
Itulah pokok-pokok pikiran bung Karno yang mencoba menghubungkan tiga kekuatan besar tersebut : nasionalisme dan marxisme, nasionalisme dan Islamisme, Islamisme dan marxisme.
**************
Setelah melihat isi pokok dari artikel berjudul nasionalisme, Islamisme, marxisme, ada baiknya pula jika kita sedikit menengok sejarah pada tahun 20-an, tahun dimana tulisan itu digulirkan oleh Bung Karno. Di akhir tulisan, bung Karno sempat memunculkan tiga nama yang dianggap representasi tiga kekuatan, yaitu : Oemar Said Tjokroaminoto, Sema’oen dan Tjipto Mangunkusumo.
Tjokroaminoto mewakili kelompok Islam melalui Sarekat Islam (SI) yang berdiri sejak 1912. Sema’oen mewakili kaum marxis melalui Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berdiri sejak 1920 dari rahim de Indische Sociaal Democratiesce Vereeniging (ISDV 1917). Dan terakhir Tjipto Mangunkusumo yang mewakili kelompok nasionalis melalui Boedi Oetomo yang berdiri sejak tahun 1908.
Hubungan kerjasama antara kekuatan-kekuatan tersebut pada dasarnya telah terjalin sejak masa 1920-an, khususnya antara kaum marxis (PKI) dan Islam (SI). Untuk kaum nasionalis (Boedi Oetomo), saya kesulitan mencari referensinya sehingga tidak bisa menceritakan sejauh mana hubungan Boedi Oetomo dengan PKI maupun SI. Justru yang banyak diceritakan dalam cuplikan sejarah adalah figur bung Karno sendiri dalam sepak terjangnya memberikan gagasan-gagasan nasionalisme. Sebenarnya bagi saya, yang lebih pantas merepresentasikan kaum nasionalis pada tahun 20-an itu adalah bung Karno bukan Boedi Oetomo. Sebab di tahun-tahun itu, bung Karno banyak sekali mengukir sejarah, diantaranya pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927 dan pencetusan Sumpah Pemuda 1928 dalam Kongres Pemuda II. Namun jika kawan-kawan lain ada yang lebih lengkap referensinya, mungkin dapat pula menulisnya sebagai bahan kajian kita bersama. Dan kembali kepada pokok persoalan, karena keterbatasan referensi itu, maka saya mohon maaf jika hanya mampu menceritakan kronologis sejarah antara PKI dan SI saja.
*************
Beberapa catatan sejarah menyatakan bahwa hubungan antara PKI dan SI telah terjalin erat sejak tahun 1917, terutama sejak berdirinya de Indische Sociaal Democratiesce Vereeniging (ISDV), partai sosialis yang pertama kali berdiri di Indonesia oleh orang-orang Belanda yang bekerja di Indonesia. Namun versi sejarah menyatakan bahwa kedekatan PKI dan SI saat itu, tidak lebih dari keteledoran SI yang telah disusupi ideologi marxis. Kedekatan SI dengan kaum marxis inilah yang kemudian membuat SI terpecah menjadi dua yaitu “SI merah” dan “SI putih”. Orang-orang yang selama ini merangkap keanggotaan dalam SI dan PKI, setelah terkena disiplin partai oleh Tjokroaminoto, akhirnya dikeluarkan dari SI. Orang-orang yang dikeluarkan tersebut mereaksinya dengan cara mendirikan SI merah (SI yang berbau marxis) dengan tokoh-tokohnya seperti Sema’oen, Mas Marco Martidikoro dan Haji Misbach, yang poros gerakannya dipusatkan di Semarang Jateng. Namun keberadaan SI merah ini tidak bertahan lama, karena Sema’oen sebagai tokohnya ternyata lebih aktif di PKI, karena ia memang memiliki anggota rangkap baik di SI maupun PKI. Mas Marco sendiri kemudian lebih memilih meneruskan aktifitasnya sebagai jurnalis dalam surat kabar Doenia Bergerak yang ia pimpin.
Hubungan PKI dan SI resmi putus sejak tahun 1923 yang diinisiatifi oleh PKI sebagai reaksi atas program disiplin partai yang diterapkan Tjokro pada seluruh anggota SI. Sikap PKI yang mulai ekslusif dan tidak mau bekerjasama dengan kekuatan nasional lainnya ini pada dasarnya terletak dari kepongahan pimpinan PKI itu sendiri (Alimin, Muso dan Sema’oen). Kepongahan itu muncul karena doktrin PKI sendiri yang harus menjadikan PKI sebagai partai pelopor (avantgarde) dan harus menjadi satu-satunya partai yang boleh hidup bila mereka berkuasa nanti, sebagaimana ajaran marxisme-leninisme yang mendominasi aliran di tubuh PKI. Dengan sikap doktrin seperti itu, jelas PKI menganggap tidak perlu beraliansi dengan kekuatan lain yang mestinya dapat ia jadikan kawan.
Sikap doktrin seperti ini sebenarnya dianggap salah oleh Datuk Sutan Ibrahim atau cukup dikenal dengan nama Tan Malaka (1896-1949). Sebab menurut Tan, doktrin itu yang menyebabkan kaum marxis susah merebut kekuasaan karena telah mengabaikan kekuatan-kekuatan lainnya, khususnya kekuatan pan-Islamisme yang pada saat itu juga mulai mencuat di Asia melawan imperialisme. Sikap dari pemikiran Tan yang menentang kebijakan PKI ini sebenarnya sangat wajar, mengingat Tan saat itu memang sedang aktif dalam commintern mewakili Asia Tenggara. Dan di commintern saat itu memang sedang gencar-gencarnya terjadi perdebatan konsep dalam upaya merevisi marxisme.
Perevisian konsep marxisme tersebut bermula dari gagasan Antonio Gramsci (1891-1937), pendiri Partai Komunis Italia tahun 1921, yang kemudian dituangkan dalam salah satu bukunya Prison Notebooks. Pada prinsipnya Gramsci menyampaikan betapa pentingnya partai komunis beraliansi dengan partai lain untuk bersama-sama merebut kekuasaan dari tangan kapitalis. Konsep partai tunggal sebagaimana diteorikan Vladimir Ilyits Ullianov yang kemudian dikenal dengan nama V.I. Lenin (1870-1924) oleh Gramsci dianggap sudah tidak relevan lagi dan justru menyulitkan gerakan kaum komunis. Bagi Gramsci, kekuasaan lebih mudah direbut dengan cara beraliansi dengan kekuatan lain melalui sistem parlementer.
Pemikiran Gramsci inilah yang kemudian disebut-sebut sebagai awal bangkitnya komunisme baru dalam Internationale III yang berhasil merevisi dan memperbaiki marxisme, yang kemudian mengidentifikasikan dirinya dengan menyebut “erokomunisme”. Lebih lengkapnya, tentang perubahan-perubahan konsep marxisme ini kawan-kawan dapat mencermati pemikiran-pemikiran yang pernah dilontarkan oleh Rosa Luxemburg, Eduard Bernstein, Vladimir Lenin, Karl Kautsky dan Antonio Gramsci, yang pada akhirnya memunculkan perdebatan panjang diantara mereka sendiri.
Erokomunisme ternyata juga dapat dibaca dan ditangkap oleh bung Karno. Di dalam artikelnya, ia menyambut positif perubahan komunisme itu. Bagi bung Karno, perevisian itu dianggap sebagai satu langkah maju, karena Marx memang bukan seorang dewa, yang ajarannya harus bersifat absolut-dogmatis, melainkan harus terus direvisi agar dapat dinamis sesuai perubahan dan perkembangan jaman. Dengan perubahan itulah, maka wajar jika Sukarno mengkritik PKI yang tidak mau bekerjasama dengan kekuatan nasional lainnya, padahal partai-partai komunis di eropa (barat) telah melakukannya.
Satu-satunya tokoh PKI yang sepakat dengan perubahan konsep marxisme hanyalah Tan Malaka. Bahkan di tahun 1921, Tan telah mengeluarkan sebuah tulisan berjudul Sovyet atau Parlemen, yang intinya hampir sama dengan pokok pikiran Gramsci, bahwa sistem parlementer jauh lebih baik daripada sistem partai tunggal soviet. Tentang sifat elitisme di tubuh PKI, Tan sudah seringkali menganjurkan kepada tokoh-tokoh PKI lainnya agar mau beraliansi dengan partai-partai lain, terutama kekuatan pan-Islamisme Indonesia yang saat itu diwakili Sarekat Islam. Bahkan Tan sangat menyesalkan tentang putusnya hubungan PKI dan SI di tahun 1923.
Namun apa yang dianjurkan oleh bung Karno maupun Tan Malaka, tampaknya tidak mampu menggoyahkan sikap Sema’oen dan kawan-kawannya, karena doktrin Sovyet dengan sistem diktatuur proletariat (tepatnya diktatuur partai) telah terlanjur berhegemoni dalam pikirannya. Bahkan pesona keberhasilan revolusi Oktober 1917 kaum Bolsyevik dalam perjuangan bersenjata melawan rejim Tsar, telah mengilhaminya untuk melakukan pemberontakan PKI di tahun 1926. Keputusan untuk memberontak ini ditentang keras Tan Malaka, sebab Tan tahu bahwa Sema’oen dan kawan-kawannya telah buta matanya terhadap faktor obyektif yang ada dalam masyarakat karena telah tertutup oleh faktor subyektif (ideologis) yang berlebihan. Sehingga Tan menganggap tindakan itu tidak lebih sebagai tindakan yang bersifat advonturir dan kekanak-kanakan.
Namun pemberontakan tetap dilaksanakan, dan ternyata memang gagal. Alimin, Muso, Darsono dan Sema’oen berhasil melarikan diri ke Rusia. Namun ratusan ribu tetap ditangkap dan dibuang ke Digul, Tanah Merah, Irian Jaya (Papua). Atas kekalahan PKI itu, maka Tan Malaka memutuskan untuk mendirikan partai lagi yang diberi nama Partai Republik Indonesia (PARI) di tahun 1927, bersama-sama Subakat dan Jamaludin Tamim. Dan pada tahun 1948 kemudian, Tan Malaka kembali mempromotori pembentukan Partai MURBA (Musyawarah Rakyat Banyak) yang didukung kader-kader mudanya, Chaerul Saleh, Sukarni dan Adam Malik..


tulisan ini dibuat oleh : Bung Donny Tri I. Margiono (mantan Presidium GMNI)