Selasa, 18 Oktober 2011

Tantangan Disintegrasi Bangsa Terhadap Nasionalisme Indonesia


Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik. Hal tersebut merupakan hasil daripada upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari pihak-pihak yang sering merongrong kemerdekaan Indonesia. Sebagai negara kesatuan sudah barang tentu kemajemukan menjadi hal yang pasti akan dijumpai dalam dunia kemasyarakatannya. Hal itu dapat dilihat dari beragamnya suku bangsa dan sistem sosial yang ada di Indonesia.
Keberagaman tersebut dibingkai dalam sebuah negara kesatuan. Dimana kemajemukan tersebut dijadikan satu diatas perbedaan yang ada. Karena Indonesia merupakan negara yang beragam ras dan suku bangsanya, maka Indonesia juga dapat dikatakan sebagai sebuah negara-bangsa. Hal ini dapat tercermin kutipan Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dikutip oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia (1998) bahwa :
Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan -atau nasionalisme- yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik atau golongannya.

Hal tersebut di atas secara tersirat menunjukkan bahwa terbentuknya negara kesatuan Indonesia ialah oleh adanya semangat persatuan dan rasa untuk berdiri di atas paham kebangsaan. Bukan lagi di atas paham kesukuan atau rasa chauvinistis dan primordialisme. Secara historis tercatat bahwa semangat keindonesiaan menjadi landasan para pendiri dan pejuang bangsa untuk bersatu. Kemudian rasa kebangsaan menjadi salah satu dasar daripada berdirinya sebuah bangsa yang kemudian bernama Indonesia.
Sudah sangat jelas bahwasanya poros utama terbentuknya negara-bangsa ialah nasionalisme. Nasionalisme Indonesia akan turut serta menentukan dan memperlihatkan eksistensi daripada negara-bangsa tersebut. Nasionalisme bukan hanya harus dimiliki dalam masa mengusir penjajahan (seperti yang terjadi di beberapa negara, juga Indonesia, dalam merebut kemerdekaan) namun pula harus terus dimiliki sampai kapanpun. Hal ini guna tetap mempertahankan eksistensi dan identitas kebangsaan negara yang bersangkutan.
Jika kita melihat kondisi nasionalisme dari negara-bangsa Indonesia dewasa ini dapat terlihatlah adanya sebuah penipisan dan pemunduran. Kita dapat melihat, bahwa rasa nasionalisme bangsa ini telah sampai kepada titik yang sangat mengkhawatirkan dan membahayakan bagi eksistensi negara-bangsa Indonesia. Dalam bidang politik misalnya, kita akan melihat maraknya disintegrasi bangsa yang disebabkan oleh menipisnya rasa nasionalisme sehingga berujung kepada ancaman pecahnya kesatuan dan persatuan nasional. Etnisitas dan gerakan separatis seolah menjadi jamur di musim hujan. Konflik yang mengatasnamakan ras dan suku dari hari ke hari semakin menjadi. Gerakan separatispun semakin menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan nasional memang sedang terancam. Pasca reformasi terjadi gerakan-gerakan tersebut semakin nyata terasa.
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) bangsa di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan pertikaian, gelombang reformasi yang tengah berjalan menimbulkan berbagai kecenderungan dan realitas baru.  Segala hal yang terkait dengan Orde Baru termasuk format politik dan paradigmanya dihujat dan dibongkar. Bermunculan pula aliansi ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai-partai politik baru. Seiring dengan itu lahir sejumlah tuntutan daerah-daerah diluar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka yang dengan sendirinya makin menambah problem, manakala diwarnai terjadinya konflik dan benturan antar etnik dengan segala permasalahannya.
Penyebab timbulnya disintegrasi bangsa juga dapat terjadi karena perlakuan yang tidak adil dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah khususnya pada daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya/kekayaan alamnya berlimpah/ berlebih, sehingga daerah tersebut mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.
Selain itu disintegrasi bangsa juga dipengaruhi oleh perkembangan politik dewasa ini.  Dalam kehidupan politik sangat terasa adanya pengaruh dari statemen politik para elit maupun pimpinan nasional, yang sering mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa, sebagai akibat masih kentalnya bentuk-bentuk primodialisme sempit dari kelompok, golongan, kedaerahan bahkan agama.  Hal ini menunjukkan bahwa para elit politik secara sadar maupun tidak sadar telah memprovokasi masyarakat.  Keterbatasan tingkat intelektual sebagian besar masyarakat Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh ucapan-ucapan para elitnya sehingga dengan mudah terpicu untuk bertindak yang menjurus kearah terjadinya kerusuhan maupun konflik antar kelompok atau golongan.
Sebetulnya gerakan separatis bukan hal baru dalam dinamika kenegaraan Indonesia. Secara historis dan sosiologis tercatat bahwa di Indonesia, setelah kemerdekaan, kerap terjadi berbagai gerakan yang berupaya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diantaranya yang tercatat ialah DI/TII (gerakan mendirikan negara islam), Republik Maluku Selatan (gerakan yang berupa upaya pemisahan diri kawasan Maluku dari wilayah NKRI), dan OPM (gerakan di Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI yang didasari ketidaksamaan unsur historis bangsa).
Hal tersebut sedikit banyak mempengaruhi sikap nasionalisme seorang anak bangsa. Karena, dari Sabang sampai Merauke, NKRI ini dibentuk dan berdiri dengan dasar sikap kebangsaan yang merasa satu dalam nasib dan perjuangan. Oleh karenanya kajian mengenai fenomena disintegrasi bangsa yang berpengaruh terhadap sikap nasionalisme Indonesia menarik untuk dikaji sebagai bentuk penumbuhan dan pengembangan pengetahuan dan pemahaman mengenai Indonesia.

Tantangan Disintegrasi Bangsa
Negara-bangsa Indonesia merupakan sebuah entitas yang berdiri di atas kemajemukan. Sebenarnya, kemajemukan tersebut menjadi salah satu faktor yang kemudian menyebabkan terbentuknya negara-bangsa Indonesia. Kemajemukan masyarakat Indonesia terlihat seperti yang dinyatakan oleh Furnivall (Nasikun, 2006 : 35), bahwa “masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik”.
Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk telah menimbulkan persoalan intergrasi pada tingkatan nasional. Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang  bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal. Maka, tak jarang kemajemukan bangsa Indonesia dapat menyebabkan konflik horizontal yang berujung pada ancaman disintegrasi bangsa.
Hal tersebut terekam secara historis bahwa dalam enam dasawarsa perikehidupan kenegaraan di tanah air, terbukti bangsa Indonesia pernah mengalami beberapa   kali konflik yang erat kaitannya dengan unsur SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) serta politik. Sekalipun masalah SARA ini tidak sampai berujung pada terjadinya separatisme pada wilayah Indonesia yang sudah bersatu sejak awal kemerdekaan. Namun harus diakui bahwa beberapa kelompok kecil masyarakat lainnya telah menunjukkan bahwa di Indonesia mempunyai potensi untuk itu.
Maraknya disintegrasi bangsa disebabkan oleh menipisnya rasa nasionalisme. Sehingga berujung kepada ancaman pecahnya kesatuan dan persatuan nasional. Etnisitas dan gerakan separatis seolah menjadi jamur di musim hujan. Konflik yang mengatasnamakan ras dan suku dari hari ke hari semakin menjadi. Gerakan separatispun semakin menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan nasional memang sedang terancam. Selain itu konflik yang bernuansa etnis atau antar golongan disebabkan karena lunturnya nilai-nilai agama, adat dan sejarah. Kini hal tersebut telah dikalahkan oleh egoisme SARA itu sendiri.
Gerakan separatisme yang mengancam disintegrasi bangsa sebenarnya telah muncul sejak dahulu. Hal ini dapat dilihat dari maraknya gerakan-gerakan separatis seperti DI/TII, RMS atau PRRI/PERMESTA. Namun, meningkatnya tensi separatisme dirasakan pada masa pasca reformasi berlangsung. Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002 : 120-122) bahwa :
Kejatuhan Presiden Soeharto dari singgasananya pada Mei 1998 sebagai akibat lanjutan dari krisis moneter, ekonomi dan politik telah mengancam integrasi nasional negara-bangsa Indonesia…. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, sistem sosial yang berbeda kelihatannya semakin rapuh.

Menurut F.M. Suseno (Richard M Daulay, 2003 : 31-40), ada beberapa hal yang menyebabkan maraknya fanatisme sehingga pecahnya integrasi nasional. Pertama ialah masalah sentralisme, yang kedua ialah masalah primordialisme, dan yang ketiga adalah permasalahan ketidakadilan sosial. Kesemuanya tersebut nampak dalam beberapa konflik yang menyebabkan disintegrasi, seperti yang terjadi di Aceh, Papua, Riau, Ambon dan Timor-Timor. Permasalahan disintegrasi bangsa merupakan tantangan yang harus dihadapi demi bertahannya eksistensi negara-bangsa Indonesia yang didasarkan atas konsesus bersama serta sikap dan jiwa nasionalisme.
Disintegrasi bangsa juga dapat ditinjau dari maraknya konflik horizontal yang bersifat politis maupun ideologis. Pada tingkatan ideologis, konflik tersebut terwujud dalam bentuk konflik antara sistem-nilai yang dianut serta menjadi ideologi dari berbagai kesatuan sosial. Pada konflik yang bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas adanya di dalam masyarakat. Konflik-konflik ini biasanya terjadi pada kalangan elite yang akan berekses terhadap kalangan graas roots (kalangan pada tingkatan terbawah).
Situasi konflik seperti itulah yang kemudian membuat para pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas ke dalam diantara sesama anggotanya. Diantaranya ialah dengan membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, bersaing dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan politik. Hal tersebut nampak dalam konflik komunal bangsa Indonesia atau konflik antar elite partai politik. Sehingga hal tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi negara-bangsa Indonesia.
Strategi seperti apa yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengatasi disintegrasi bangsa tersebut. Strategi tersebut diantaranya ialah seperti yang dikemukakan oleh Richard M Daulay (2003 : 31-40) pertama, dengan memperkuat kembali Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional yang dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, menciptakan keadilan sosial dan pemerataan antara pusat dan daerah. Ketiga, membangun budaya Indonesia yang akan menyatukan seluruh elemen bangsa. Keempat ialah pelaksanaan otonomi daerah yang benar dan tepat. Sehingga antar daerah akan terjalin kerjasama dan kemajuan tanpa harus menimbulkan kecemburuan dan keinginan untuk memisahkan diri.
Artinya secara sederhana dapat dikatakan ada dua hal yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, secara politis (struktural) dan yang kedua ialah secara sosial (kultural). Secara struktural diharapkan pemerintah dapat membuat dan menerapkan kebijakan-kabijakan yang dapat dikatakan merata dan tidak membuat kecemburuan antar suku bangsa. Sedangkan secara kultural bahwa diharapkan  masyarakat sebagai sebuah kesatuan dapat secara aktif mengeratkan diri melalui budaya lokal yang dapat menjadi penyangga bagi kesatuan nasional.

Pengertian Bangsa dan Nasionalisme
Nasionalisme sering kali dikonotasikan dengan aspek-aspek emosional, kolektif dan idola serta sarat emosi historis. Nasionalisme selalu melibatkan dimensi atau rasa, seperti seperasaan, sepenanggungan, seperantauan dan senasib. Faktor memori historis adalah faktor kecenderungan yang dibangun untuk menumbuhkan perasaan bersatu dalam sebuah konsep kebangsaan tertentu.
Pembicaraan seputar nasionalisme pasti tidak akan lepas dari pembicaraan tentang bangsa. Nasionalisme secara sederhana dikatakan sebagai sebuah paham kebangsaan. Maka oleh karenanya, perlu terlebih dahulu dirumuskan tentang definisi bangsa itu sendiri. Bangsa menurut Ernest Renan dalam Sri Sultan Hamengkubuwono X (2007 : 85), adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama, baik dalam pengorbanan (sacrifice) maupun dalam kebersamaan (solidarity). Sedangkan Benedict Anderson mengatakan bahwa bangsa didefinisikan sebagai “sebuah komunitas politik terbayang”. Menurut Otto Bauer (Soekarno, 2007 : 146) bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.
Sedangkan menurut Soekarno (2007 : 149) bangsa ialah segerombolan manusia yang mempunyai kehendak untuk hidup bersama, mempunyai persamaan watak, tetapi berdiam diatas satu wilayah geopolitik yang nyata satu persatuan. Sartono Kartodirdjo dalam Adeng Muchtar Ghazali (2004 : 3) mengatakan bahwa bangsa menunjuk kepada suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama yang mencakup pelbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnik, kelas atau golongan sosial, aliran kepercayaan, kebudayaan linguistik, dan lain sebagainya. Kesemuanya terintergerasikan dalam perkembangan historis sebagai kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang dipotong oleh kemauan politik bersama.
Dengan demikian bahwasanya dapat dikatakan bahwa bangsa itu memiliki sifat yang pluralistik. Tidak berdiri di atas paham kesukuan, ras maupun agama. Bangsa lebih menonjolkan kehendak bersama serta hidup dalam sebuah persekutuan yang majemuk dan memiliki wilayah yang menjadi pijakan serta tempat untuk hidup bersama tersebut. Sedangkan etnis lebih kepada idenitas kebudayaan yang dimiliki.
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme berangkat dari situasi perjuangan merebut kemerdekaan dan sudah barang tentu dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran rasional dari tuntutan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat keikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa.
Konsep bangsa lahir sesudah revolusi Prancis. Ketika itu Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah makna kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara.
Hans Kohn dalam H.A.R. Tilaar (2007 : 24) membedakan antara dua konsep nasionalisme. Pertama, nasionalisme sebagai konsep politik atau suatu yang secara sukarela (volunteer) seseorang menjadi anggotanya. Menurut konsep ini, nasionalisme meupakan suatu bentuk kontraktual dari para anggotanya. Kedua, konsep nasionalisme sebagai konsep yang organik atau irasional. Konsep ini menyatakan bahwa individu mempunyai kesejarahan hidup yaitu dia menjadi seseorang, satu bagian organis dengan lingkungannya, suatu kesatuan yang mistis dengan lingkungannya itu, serta mempunyai kemantapan hidup yang diperolehnya dari komunitasnya yaitu sejarah, agama, bahasa, adat-istiadat.
Perbedaan yang simplisistik dari nasionalisme politis dan nasionalisme organik biasanya dijadikan perbedaan antara nasionalisme barat dan nasionalisme timur. Ernest Gelner (H.A.R Tilaar, 2007 : 25) menolak pendapat nasionalitas atau nasionalisme sebagai sesuatu yang alamiah atau primodial. Kewarganegaraan merupakan suatu keanggotaan moral (moral membership) dari suatu masyarakat modern. Keanggotaan itu diperolehnya melalui pendidikan nasional dan biasanya menggunakan bahasa yang dipilih sebagai bahasa ibu atau bahasa nasional.
Nasionalisme Indonesia
Istilah nasionalisme dalam kamus perpolitikan di Indonesia diduga baru muncul setelah Samanhudi menyerahkan tampuk kepemimpinan Sarekat Islam kepada H.O.S Tjokroaminoto pada pertengahan 1912. Kemudian disusul Indische Partij yang mendengungkan nasionalisme menentang penetrasi asing yang dipelopori Douwes Dekker dengan Perhimpunan Indonesia. Kesemuanya merupakan partai-partai yang menjadi pelopor nasionalisme dalam pengertian politik yang kemudian disusul oleh banyak organisasi politik yang tumbuh pada masa pergerakan nasional.
Bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan solidaritas kebangsaan. Seseorang yang termasuk bangsa Indonesia adalah seseorang yang memiliki perilaku tertentu yang merupakan perilaku Indonesia, perasaan-perasaan tertentu yang merupakan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Tumbuhnya nation Indonesia bermula dari kebangkitan nasional dengan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908. Terbentuknya nation Indonesia juga dapat kita lihat dalam Sumpah Pemuda 1928, dimana anggota panitia tersebut terdiri dari suku bangsa dan agama.
Nasionalisme adalah salah satu kekuatan yang menentukan dalam sejarah modern suatu bangsa untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Di Indonesia timbulnya pemikiran nasionalisme merupakan bentuk reaksi terhadap kolonialisme. Nasionalisme Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kekuatan kolonialisme barat. Nasionalisme Indonesia mengalami perkembangan dan pertumbuhan seirama dengan dinamika pergerakan kebangsaan Indonesia.
Pergerakan nasional Indonesia didukung oleh kebangkitan nasionalisme negara-negara di Asia setelah Perang Dunia II. Di negara-negara Asia, khususnya di Indonesia, tumbuhnya nasionalisme dalam pengertian modern merupakan bentuk reaksi terhadap kolonialisme, yang bermula dari cara eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen antara penjajah dan yang dijajah. Nasionalisme Indonesia adalah gejala historis yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme bangsa barat. Nasionalisme Indonesia secara umum bertujuan ke dalam memperhebat nation and character building sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa, sedangkan tujuan keluar menolak segala bentuk kolonialisme.
Semangat nasionalisme Indonesia muncul sebagai satu ikatan bersama melawan kolonialisme. Nasion dan nasionalisme dipakai sebagai perasaan bersama oleh penindasan kolonialisme dan oleh karena itu, dipakai sebagai senjata ampuh untuk membangun ikatan dan solidaritas kebersamaan melawan kolonialisme. Tidak dapat disangkal bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang diciptakan (invented). Oleh para pendiri bangsa Indonesia, melalui Budi Utomo dan kemudian Sumpah Pemuda, telah menciptakan nasionalisme Indonesia yang lintas etnis, dengan simbol bendera merah putih dan bahasa Indonesia.
Nasionalisme yang muncul ketika menjelang dan awal kemerdekaan Indonesia dapat dikatakan disebabkan oleh tiga hal. Pertama, bangsa Indonesia menghadapi musuh yang sama (common enemy) yakni penjajahan. Adanya musuh bersama ini telah membentuk rasa solidaritas yang sangat tinggi untuk menghadapi dan mengusir musuh itu sejauh-jauhnya. Kedua, berhubungan dengan yang pertama, pada waktu itu bangsa ini memiliki tujuan yang sama, yakni ingin mandiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Ketiga, karena kedua hal di atas, waktu itu bangsa ini merasa senasib seperjuangan. Semua merasa tertindas dan teraniaya oleh bangsa asing. Kehidupan menjadi teras selalu diinjak-injak dan sama sekali tak dihargai. Di sinilah terjadi sinergi dari segenap lapisan masyarakat dengan kemampuan masing-masing berjuang mengubah nasib bersama.
Secara historis awalnya gerakan nasionalisme Indonesia berawal dari pembentukan organisasi Budi Utomo yang kemudian diikuti dengan berdirinya organisasi-organisasi lain seperti Sarekat Islam, Pemuda Jawa, Pemuda Sumatera, Pemuda Sulawesi, Pemuda Ambon dan organisasi lain yang bersifat kedaerahan. Organisasi-organisasi yang bersifat primordialisme ini segera mentransformasikan diri menjaadi organisasi yang bersifat non-primordialisme atau bersifat nasional. Tahun 1927 berdirilah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang diprakarsai Soekarno. Sebagai organisasi politik berskala nasional pertama di Indonesia, partai ini secara tegas menggariskan agenda utama partai ialah Indonesia merdeka. Dengan lahirnya PNI, maka semangat nasionalisme Indonesia semakin berkobar-kobar seperti api yang menyala-nyala. Boleh dikatakan, bahwa gelombang nasionalisme pada awalnya merupakan hasil dari ekspansi barat, yang juga sebagai sebuah reaksi terhadap dominasi barat.
Nasionalisme menurut Stanley Benn dalam Adeng Muchtar Ghazali (2004 : 3) memiliki elemen-elemen seperti dibawah ini, yaitu :
1.      Semangat ketaatan kepada suatu bangsa (semacam patriotisme).
2.      Dalam aplikasinya kepada politik, nasionalisme menunjuk kepada kecondongan untuk mengutamakan kepentingan bangsa sendiri, khususnya jika kepentingan bangsa itu berlawanan dengan kepentingan bangsa lain.
3.      Sikap yang melihat amat pentingnya penonjolan ciri khusus suatu bangsa. Karena itu, doktrin yang memandang perlunya kebudayaan bangsa dipertahankan.
4.      Ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta anggota para bangsa itu.

Menurut Nurcholish Madjid dalam Adeng Muchtar Ghazali (2004 : 3) mengatakan bahwa berdasarkan proses pembentukannya, dapat diketahui prinsip-prinsip nasionalisme, yakni :
1.        Kesatuan (unity), yang mentransformasikan hal-hal yang polimorfik menjadi monomorfik sebagai produk proses integrasi;
2.        Kebebasan (liberty), khususnya bagi negeri-negeri jajahan yang memperjuangkan pembebasan dan kolonialisme;
3.        Kesamaan (equality), sebagai bagian implisit dari masyarakat demokratis yang merupakan antitesa dari masyarakat kolonial yang diskriminatif dan otoriter;
4.        Kepribadian (identity), yang lenyap karena negasi kaum kolonial; dan
5.        Prestasi amat diperlukan untuk menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan bagi warga negara nasion.

Nasionalisme Indonesia bangkit sebagai bentuk perlawanan atau penentangan terhadap kolonialisme. Nasionalisme Indonesia dengan sendirinya juga mengandung tiga aspek penting, yaitu :
1.    Politik. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghilangkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat.
2.    Sosial ekonomi. Nasionalisme Indonesia muncul untuk menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan.
3.    Budaya. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh kebudayaan luar, tetapi dengan menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung) bangsa Indonesia. Juga tidak dimaksudkan untuk mengingkari kebhinnekaan yang telah sedia ada sebagai realitas sosial budaya dan realitas anthropologis bangsa Indonesia.
Notonegoro mengemukakan bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:
1.    Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan sejasrahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mulai pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
2.    Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama, sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat memproklmasikan kemerdekaan menjelang berakhirnya masa pendudukan tentara Jepang.
3.    Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia, khususnya Hindu dan Islam.
4.    Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia.
5.    Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini.
Substansi nasionalisme Indonesia memiliki dua unsur. Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk pensubordinasian, penjajahan, dan penindasan dari bumi Indonesia. Semangat dari dua substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Sumpah Pemuda dan Proklamasi serta dalam Pembukaan UUD 1945.
Nasionalisme Indonesia mengalami pertumbuhan dan perkembangan pada masa lalu seirama dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Nasionalisme yang dianut oleh bangsa Indonesia melahirkan pendirian untuk menghormati kemerdekaan bangsa lain sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 “bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Oleh karena itu dalam nasionalisme terkandung sikap anti penjajahan. Semangat yang demikian dengan sendirinya tidak menumbuhkan keinginan bangsa Indonesia untuk menjajah bangsa lain, sebaliknya bangsa Indonesia ingin tetap bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain untuk mewujudkan perdamaian dunia menuju masyarakat maju, sejahtera, dan adil bagi semua umat manusia di dunia.
Berbicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita tidak dapat menyepadankannya begitu saja dengan nasionalisme Barat. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme berfondasi Pancasila. Nasionalisme yang bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Soekarno disebut Sosio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa atau suku bangsa lain. Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa menjurus kepada sikap chauvinistik dan ethnonationalism -nasionalisme sempit- yang membenci bangsa atau suku bangsa lain, menganggap bangsa atau suku bangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul, sesuai dengan individualisme Barat.
Nasionalisme Indonesia menurut Soekarno (2006 : 8) adalah nasionalisme yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, bukan chauvinis. Nasionalisme Indonesia ialah nasionalisme yang bercorak ketimuran, yang timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, yang memberikan tempat pada lain-lain sesuatu, bagaikan lebarnya dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.
Lebih lanjut mengenai nasionalisme Indonesia, Soekarno (2003 : 14) juga menambahkan bahwa nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit (jingo  nationalism), yang selalu menghitung untung rugi (gain dan loss). Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme biasa, tetapi sosio-nasionalisme yang dalam pengertian, kita berhubungan erat dengan seluruh perikemanusiaan dan kemanusiaan.
Nasionalisme Indonesia menurut Soepomo bersifat inegralistik yakni bahwa:
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang integralistik, dalam arti yang tidak membeda-bedakan masyarakat atau warga negara atas dasar golongan-golongan atau yang lainnya, melainkan mengatasi segala golongan dan perorangan untuk persatuan semua lapisan masyarakat keanegaraman itu tetap diakui. Singkatnya nasionalisme Indonesia merupakan semangat yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan (Bhineka Tunggal Ika).

Dari kutipan di atas, jelaslah bahwa seluruh bangsa Indonesia harus membina persatuan dan kesatuan bangsa serta antar seluruh warga negara Indonesia yang berasas satu tekad yang bulat dan satu cita-cita nasional yang sama tanpa memandang asal-usul, keturunan, suku, daerah, golongan, kebudayaan, agama dan kepercayaan serta perbedaan-perbedaan yang lainnya.
Nasionalisme bangsa Indonesia merupakan nasionalisme yang berdasarkan Pancasila. Hal ini terwujud dalam butir-butir pancasila, sila ke tiga yakni :
a.    Menempatkan persatuan dan kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa sebagai kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau golongan.
b.   Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan
c.    Mengembangkan rasa cinta tanah air dan bangsa.
d.   Mengembangkan rasa kebangsaan  dan bertanah air Indonesia.
e.    Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, persamaan abadi dan keadilan sosial.
f.     Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka Tunggal Ika.
g.   Memajukan  pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Rapuhnya Nasionalisme Indonesia
Memudarnya rasa kebanggaan bagi bangsa selama beberapa tahun belakangan ini, sesungguhnya disulut oleh menguatnya sentimen kedaerahan dan semangat primordialisme pasca krisis. Suatu sikap yang sedikit banyak disebabkan oleh kekecewaan sebagian besar anggota dan kelompok masyarakat bahwa kesepakatan bersama (contract social) yang mengandung nilai-nilai seperti keadilan dan perikemanusiaan dan musyawarah kerap hanya menjadi retorika kosong belaka.
Saat ini disinyalir bahwa nasionalisme Indonesia rapuh dalam menghadapi gejala-gejala mutakhir berupa solidaritas parokial dan kekuatan eksternal akibat pengaruh globalisasi, baik kekuasaan kolonial, penetrasi transnasional corporation, multinasional corporation, maupun lembaga-lembaga internasional lainnya. Selain itu, meurut Barbara Goodwin (Kokom Komalasari, 2007 : 555) setidaknya ada empat faktor dibalik tidak adanya pertalian dari tegaknya nasionalisme. Pertama, basis nasionalisme atau identitas nasional. Kedua, fragmentasi atau konflik yang terjadi. Ketiga, loyalitas yang berlapis. Keempat, sirkulasi antara identifikasi subjeksitas individu dan masyarakat yang sifatnya voluntaris atas keberadaan suatu nation.
Dewasa ini harus diakui bahwa kesadaran Nasionalisme sedang mengidap banyak masalah berat, yang memerlukan pembenahan secara serius. Kegagalan pembenahannya akan mempunyai dampak terhadap persatuan bangsa dan kesatuan negara Indonesia. Dengan kilas balik ke sejarah lampau, kita melihat jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orba berlaku tatanan pemerintahan kediktatoran-militer  yang anti demokrasi, anti nasional, anti HAM, anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal nasionalisme Indonesia. Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32 tahun dan menggunakan pendekatan kekerasan, telah mematikan inisiatif dan kreativitas rakyat, memperbodoh rakyat.
Di sisi lain tindakan rezim Orba tersebut  menumbuhkan kebencian rakyat mendasar, terutama rakyat luar Jawa yang merasakan kekayaan alamnya dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Dari situasi yang demikian itu rakyat daerah luar Jawa merasakan ketidakadilan yang sangat mendalam, yang mengakibatkan tumbuhnya benih-benih gerakan disintegrasi dalam negara Indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, seperti misalnya antara suku Dayak dengan suku Madura (di Kalimantan), antara  ummat  Kristen dengan ummat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan  fisik dan pengrusakan hartabenda etnik Tionghoa (di Jakarta) ditengarai sebagai penyebab retaknya bangunan nasionalisme Indonesia.
Di era reformasi dan otonomi ini, nasionalisme Indonesia justru terasa kabur. Akumulasi itu terjadi karena nasionalisme sudah kehilangan makna dan ruhnya ketika ia sudah teramat sering dibajak oleh rezim untuk kepentingan kekuasaan. Nasionalisme tak jarang dipakai sebagai komoditas politik dan tameng untuk melanggengkan kekuasaan yang korup dan otoriter. Konteks inilah yang mengantarkan nasionalisme menjadi meaningless, usang dan tak bermakna.

Peranan Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pengembangan Sikap Nasionalisme
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena melalui pendidikan diharapkan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik bagi individu maupun masyarakat. Selain itu pendidikan diharapkan dapat menjadi sarana bagi setiap manusia untuk mengenal realita kehidupannya sehingga ia mampu untuk berpartisipasi dalam kehidupan, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tilaar (2007 : 25) berpendapat bahwa pendidikan merupakan faktor penting untuk menumbuhkan nasionalisme disamping bahasa dan budaya. Pendidikan kewarganegaraan sangat kental dan erat dengan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Hal tersebut bukanlah sebuah mitos belaka, karena memang secara substanstif pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik, yang salah satu di dalamnya kental nuansa nasionalisme-nya.
Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Selain hal tersebut hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara Indonesia. Bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mewujudkan warga negara sadar bela negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa.
Dalam standar isi pendidikan nasional, pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang mengembangkan  : nilai-nilai cinta tanah air,  kesadaran berbangsa dan bernegara, keyakinan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara, nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, kerelaan berkorban untuk masyarakat, bangsa, dan negara, serta, kemampuan awal bela negara.
Berkaitan dengan PKn sebagai pendidikan kebangsaan, I Wayan Sukadi (2006 : 173) menjelaskan bahwa PKn membawa misi pendidikan sejarah perjuangan bangsa terutama yang menyangkut kepada pengembangan identitas nasional dan nasionalisme Indonesia. Melalui pemahaman dan penghayatan nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa, para siswa diharapkan tumbuh kesadarannya untuk tetap mempertahankan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Rasa kebangsaan membutuhkan pembinaan nilai-nilai kepribadian dan aspek peningkatan pengetahuan wawasan kebangsaan. Dibutuhkan langkah dan upaya secara intensif membangun kesadaran kebangsaan yang berlandaskan kebhinekaan. Pendidikan yang dibutuhkan tidak sekedar mentransformasikan pengetahuan, tetapi juga memberikan pemahaman kebangsaan dan wawasan kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa PKn merupakan bagian dari pendidikan kebangsaan. Hal itu dipertegas dengan tujuan dari pembelajaran PKn yang mengemban tugas untuk mewarisi nilai-nilai kebangsaan Indonesia, seperti nasionalisme, patriotisme dan cinta tanah air yang dilandaskan Pancasila.
   
Pengaruh tantangan disintegrasi bangsa terhadap sikap nasionalisme
Terjadinya disintegrasi bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berpengaruh terhadap sikap nasionalisme bangsa Indonesia. Karena secara jelas bahwa terbentuknya NKRI didasari oleh rasa kebangsaan yang sama yakni perasaan satu sebagai bangsa Indonesia. Namun dalam dinamikanya terjadi berbagai penyimpangan dari sikap nasionalisme ini. Diantaranya ialah munculnya fenomena pecahnya kesatuan bangsa sebagai modal utama dalam membangun bangsa Indonesia.
Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh Rasyid (2001) bahwa integrasi bangsa adalah landasan bagi tegaknya sebuah negara modern. Keutuhan wilayah negara amat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin dan masyarakat warga negara memelihara komitmen kebersamaan sebagai suatu bangsa. Karena itu, secara teoretik dipahami bahwa ancaman paling serius terhadap integrasi bangsa adalah disharmoni sosial, sedangkan ancaman paling nyata terhadap eksistensi wilayah negara adalah gerakan separatisme.
Fenomena disintegrasi bangsa jelas merupakan suatu paradoks dari sebuah nilai-nilai nasionalisme. Hal tersebut seperti yang tergambar melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh Pradana (2009 : 112) yang menyatakan  bahwa tantangan disintegrasi bangsa memiliki kaitan dengan sikap nasionalisme Indonesia. Kaitan tersebut ialah tantangan disintegrasi bangsa diakibatkan oleh menebalnya rasa fanatisme kedaerahan yang lebih besar daripada rasa kebangsaan sebagai bangsa yang satu (nasionalisme).
Jadi bahwasanya jelas bahwa sikap fanatisme kedaerahan sangat bertentangan dengan sikap nasionalisme Indonesia. Karena sikap nasionalisme Indonesia merupakan suatu sikap yang dilandasi akan kecintaan kepada tanah air Indonesia, bukan kecintaan terhadap kesukuan, kedaerahan atau hal-hal yang sifatnya primordialistis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Soekarno (2003 : 14) bahwa nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang sempit (jingo  nationalism), yang selalu menghitung untung rugi (gain dan loss). Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme biasa, tetapi sosio-nasionalisme yang dalam pengertian, kita berhubungan erat dengan seluruh perikemanusiaan dan kemanusiaan.
Disintegrasi bangsa yang menjadi paradoks dan tantangan dari nasionalisme Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat bersifat politis, ekonomis maupun sosio-budaya. Faktor yang dikemukakan oleh Rasyid (2001) ialah pertama, krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama. Kedua, krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional, sehingga
menyulitkan lahirnya kebijakan yang utuh dalam mengatasi krisis ekonomi. Ketiga, krisis sosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat (suku, agama, ras). Keempat, intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah, seraya mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pascadisintegrasi. Kelima, demoralisasi tentara dan polisi dalam bentuk pupusnya keyakinan mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai bhayangkari negara.
Sedangkan dari penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Strahan (2002-2003) terungkap beberapa faktor penyebab disintegrasi bangsa yakni ;
a.      Geografi. Letak Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan kepulauan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Daerah yang berpotensi untuk memisahkan diri adalah daerah yang paling jauh dari ibu kota, atau daerah yang besar pengaruhnya dari negara tetangga atau daerah perbatasan, daerah yang mempunyai pengaruh global yang besar, seperti daerah wisata, atau daerah yang memiliki kakayaan alam yang berlimpah.
b.      Demografi. Pengaruh (perlakuan) pemerintah pusat dan pemerataan atau penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan faktor dari terjadinya disintegrasi bangsa, selain masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan SDM.
c.       Kekayaan Alam. Kekayaan alam Indonesia yang sangat beragam dan berlimpah dan penyebarannya yang tidak merata dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa, karena hal ini meliputi hal-hal seperti pengelolaan, pembagian hasil, pembinaan apabila terjadi kerusakan  akibat dari pengelolaan.
d.     Ideologi. Akhir-akhir ini agama sering dijadikan pokok masalah didalam terjadinya konflik di negara ini, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap agama yang dianut dan agama lain. Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan bijaksana pada akhirnya dapat menimbulkan terjadinya kemungkinan disintegrasi bangsa, oleh sebab itu perlu adanya penanganan khusus dari para tokoh agama mengenai pendalaman masalah agama dan komunikasi antar pimpinan umat beragama secara berkesinambungan.
e.      Politik. Masalah politik merupakan aspek yang paling mudah untuk menyulut berbagai ketidak nyamanan atau ketidak tenangan dalam bermasyarakat  dan  sering   mengakibatkan  konflik   antar  masyarakat  yang berbeda faham apabila tidak ditangani dengan bijaksana akan menyebabkan konflik sosial di dalam masyarakat. Selain itu ketidak sesuaian kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan pada pemerintah daerah juga sering menimbulkan perbedaan kepentingan yang akhirnya timbul konflik sosial karena dirasa ada ketidak adilan didalam pengelolaan dan pembagian hasil atau hal-hal lain seperti perasaan pemerintah daerah yang sudah mampu mandiri dan tidak lagi membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat, konflik antar partai, kabinet koalisi yang melemahkan ketahanan nasional dan kondisi yang tidak pasti dan tidak adil akibat ketidak pastian hukum.
f.        Ekonomi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan semakin menyebabkan sebagian besar penduduk hidup dalam taraf kemiskinan. Kesenjangan sosial masyarakat Indonesia yang semakin lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dan adanya indikasi untuk mendapatkan kekayaan dengan tidak wajar yaitu melalui KKN.
g.      Sosial Budaya. Pluralitas kondisi sosial budaya bangsa Indonesia merupakan sumber konflik apabila tidak ditangani dengan bijaksana.  Tata nilai yang berlaku di daerah yang satu tidak selalu sama dengan daerah yang lain. Konflik tata nilai yang sering terjadi saat ini yakni konflik antara kelompok yang keras dan lebih modern dengan kelompok yang relatif terbelakang.
h.      Pertahanan Keamanan. Kemungkinan disintegrasi bangsa dilihat dari aspek pertahanan keamanan dapat terjadi dari seluruh permasalahan aspek asta gatra  itu sendiri.   Dilain pihak turunnya wibawa TNI dan Polri akibat kesalahan dimasa lalu dimana TNI dan Polri digunakan oleh penguasa sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya bukan sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.
Sedangkan keterkaitan antara disintegrasi bangsa dan nasionalisme tercermin dari gambaran hasil penelitian yang dilakukan oleh Pradana (2009 : 80-83) yang menggambarkan bahwa Terjadinya disintegrasi dan hubungannya dengan sikap nasionalisme tidak dapat dipisahkan. Keduanya memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Sebagai contoh ialah mereka memaparkan bahwa disintegrasi muncul karena jiwa nasionalisme yang tidak kuat. Begitu pula dengan nasionalisme yang dapat dijadikan sebagai penawar bagi penumbuhan sikap nasionalisme guna mengatasi persoalan disintegrasi bangsa. Nasionalisme memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap munculnya fenomena disintegrasi bangsa.

Solusi dalam upaya penganggulangan persoalan disintegrasi bangsa di Indonesia
Sebagai tantangan dan paradoksial dari NKRI, maka disintegrasi bangsa haruslah dicegah dan dihilangkan dari bumi Indonesia. Pemecahan masalah tersebut dapat dilakukan lwat dua pendekatan, yakni secara struktural dan kultural. Secara struktural dengan cara pemerintah yang berwenang (pusat dan daerah) mengeluarkan kebijakan yang dapat menangkal berbagai hal yang berkenaan dengan disintegrasi bangsa. Secara kultural ialah dengan memberdayakan seluruh elemen kemasyarakatan dalam upaya penangkalan disintegrasi bangsa. Sehingga pencegahan disintegrasi bangsa dilakukan secara sistemis dan holistik.  
Strategi yang dapat digunakan dalam penanggulangan disintegrasi bangsa antara lain :
a.        Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.
b.        Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa.
c.         Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
d.       Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis.
Upaya untuk menanggulangi tantangan disintegrasi bangsa ialah dengan cara memperkuat sendi persatuan dan kesatuan yaitu dari sendi ekonomi, politik dan ideologi negara. Dari segi ekonomi ialah dengan cara membuat kebijakan kebijakan yang merata dan tidak bersifat diskriminatif terhadap daerah-daerah di Indonesia. Sedangkan segi politis dan ideologis ialah bahwa kebijakan pemerintah jangan sampai menimbulkan kesenjangan antar daerah dan menjadikan Pancasila sebagai ideologi bersama yang dapat mengeratkan keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.