Sabtu, 30 Januari 2010

Pendidikan Politik Generasi Muda

ASPEK FUNDAMENTAL PENDIDIKAN POLITIK
I. MAKRO PENDIDIKAN POLITIK
A. PENGARUH KEBUDAYAAN
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia (Kuntjaraningrat, 1990:182).
Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum bentuknya nasional Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral daripada kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi (Wikipedia, 2007)
J.J. Honigman (1959:11-12, Kuntjaraningrat, 1990:186-188) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu; 1) ideas, 2), Activities dan 3) artifacts, Kuntjaraningrat menerjemahkan sebagai berikut:
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, di mana merupakan wujud yang ideal, sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau dilihat, lokasinya ada dalam alam pikiran masing- masing kelompok masyarakat. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem.
2) Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut Sistem sosial atau social System mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri.
3) Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Karena berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat.
Pada point kedua dikatakan bahwa wujud kedua dari sistem sosial adalah sistem sosial mengenai tindakan berpola dari manusia maka dengan demikian suatu wujud kebudayaan itu adalah sistem sosial dari suatu masyarakat. Dalam kehidupan kenegaraan budaya yang lebih spesifik dan berkaitan dengan peran warga negara dalam bernegara disebut dengan budaya politik.
Budaya politik memiliki pengaruh penting dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik bila tidak ditunjang oleh budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam merespons tuntutan perubahan, muncul dua sikap yang secara diametral bertentangan: "mendukung" dan "menentang" demokrasi. Realisasi demokratisasi dihadapkan pada kedua kutub yang saling bertentangan itu.
Budaya politik terekspresi melalui orientasi, pandangan dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik demokratis adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, dan persepsi yang menopang terwujudnya partisipasi. Budaya politik yang demokratis merupakan budaya politik yang partisipatif, yang oleh Almond dan Verba diterjemahkan sebagai civic culture. Karena itu, hubungan antara budaya politik dengan demokrasi (demokratisasi) dalam konteks civic culture tidak dapat dipisahkan.
Gabriel Almond dan Verba mengungkapkan konsep kebudayaan politik (civic culture) suatu bangsa merupakan distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih lanjut diungkapkan mode-mode orientasi politik dan menggolong-golongkan berbagai obyek politik dengan klasifikasi tipe-tipe orientasi politik mengikuti rumusan Parsons dan Shills, yaitu :
1. Orientasi kognitif : pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya, serta input dan outputnya.
2. Orientasi Afektif : perasaan terhadap sistem politik; peranannya, para aktor dan penampilannya.
3. Orientasi Evaluatif : keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. (1990 : 16-17)
Gabriel Almond membagi bentuk budaya politik warga negara menjadi tiga bagian yaitu :
• Budaya Politik Partisipan: orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik, paling tidak dalam kegiatan pemberian suara, dan memperoleh informasi cukup banyak tentang kehidupan politik.
• Budaya Politik Subyek: orang yang secara pasif patuh terhadap pemerintah dan UU, tetapi tidak terlibat dalam politik maupun pemberian suara.
• Budaya Politik Parokial: orang-orang yang tidak menyadari atau mengabaikan pemerintahan dan politik.
Bagian utama yang menyusun budaya politik atau civic culture adalah civic virtue (nilai kebajikan warganegara). Civic Virtue merupakan karakter bangsa yang merupakan potensi kepribadian manusia yang dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal dan diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku yang konsisten. Sapriya (2007) menjelaskkan faktor internal dan eksternal dalam pembangunan karakter bangsa diantaranya :
1) Faktor Eksternal dalam pembangunan karakter bangsa meliputi nilai budaya, adat, tata krama, budi pekerti, nilai agama, dan nilai yang baik lainnya yang dianut oleh suatu bangsa agar bangsa tersebut memiliki nilai-nilai sebagaimana yang dimiliki oleh generasi terdahulu
2) Setiap individu warga negara memiliki potensi internal yang dapat membentuk karakter yang baik, tetapi pengaruh eksternal memiliki pengaruh yang lebih dominan dalam membentuk kepribadian dan karakter individu warga negara bahkan karakter bangsa.
3) Karakter warga negara demokratis yang dapat membangun karakter bangsa Indonesia meliputi rasa hormat dan tanggung jawab kepada sesama, bersikap kritis terhadap kenyataan empiris, membuka adanya dialog, menumbuhkan sikap kemandirian, memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan, dan menempatkan sesuatu secara profesional dan proporsional.
Berdasarkan orientasi budaya politik yang dikemukakan oleh Almond dan Verba tersebut, jika dipetakan dalam masyarakat Indonesia menunjukkan kendala yang lebih kompleks, sebab situasi masyarakat Indonesia yang multikultural, dimana bangsa ini ingin menciptakan suatu bangsa dengan satu bangsa (one nation) dalam masyarakat yang multi etnis. Pluralitas bangsa ini memberikan dorongan besar untuk penciptaan budaya nasionalisme yang tangguh, sebab realitas masyarakat Indonesia secara sosiologis terdiri dari lebih kurang 500 kelompok etnis, yang mana setiap etnis secara kultural mempertahankan identitas dan budayanya serta kecenderungan yang sangat kuat untuk mengklaim wilayahnya dalam tataran komunitas etnis yang homogen. Sementara itu, etnisitas memiliki potensi yang dapat merusak tatanan sosial sebuah komunitas secara umum. Kondisi ini terjadi, ketika etnisitas dimaknai sebagai sebuah ide dan wilayah primordial (Suparlan, 2003). Hal ini senada dengan pemikiran Will Kimlicka ”... if society accepts and encourages more and more diversity, in orther to promote cultural inclusion, it seems that citizens will have less and less in common. If affirming differences is required to integrate marginalized groups into the common culture, there may cease to be a common culture”. (Ronald Beiner, 1995 : 6)
Menurut Rusadi Kantaprawira budaya politik “adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik”. Budaya politik sebenarnya melekat pada setiap masyarakat tertentu baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Perilaku politik diperlihatkan dengan sikap dan tindakan individu atau kelompok yang berupa dukungan terhadap pemerintah maupun apati kepada pemerintah. Perilaku politik juga dapat diperlihatkan melalui respon masyarakat terhadap perundang-undangan, kebijakan public dan lain-lain.
Budaya politik masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi :
a) Budaya politik Parochial
Tipe budaya politik ini anggota masyarakat cendrung tidak menaruh minat terhadap obyek-obyek politik yang luas, kecuali dalam batas tertentu, yaitu terhadap tempat dimana ia berada dalam skala yang sangat sempit.
b) Budaya politik Kaula
Tipe budaya ini memperlihatkan dimana anggota masyarakat mempunyai minat, perhatian dan kesadaran terhadap sistem politik secara keseluruhan, terutama terhadap hasil atau dari produk kebijakan politik, namun masyarakat belum memperhatikan tingkat partisipasi untuk membuat kebijakan atau terutama menjadi aktor politik. Dalam budaya politik seperti ini biasanya masyarakat tunduk dan patuh terhadap peraturan yang telah ditetapkan dan segala keputusan yang telah ditetapkan oleh penguasa dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah, dikoreksi apalagi ditentang.
c) Budaya politik Partisipan
Budaya politik partisipan ditandai dengan kesadaran seseorang bahwa dirinya ataupun orang lain adalah anggota aktif dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan tipe budaya seperti ini akan menyadari hak dan tanggungjawabnya dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan hak serta menanggung kewajibannya.
B. HUBUNGAN STRUKTUR DAN STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP PENDIDIKAN POLITIK
Dalam konsep politik, istilah struktur maka tidak dapat dipisahkan dari konsep supra strukstur dan infra struktur politik. Supra struktur politik adalah berhubungan dengan legislatif dan eksekutif seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, BPK dan lainnya. Sedangkan infra struktur politik berupa lembaga yang berkuasa. Lembaga infra struktur politik diantaranya organisasi massa seperti Majelis Ulama Indonesia, Muhamdiyah, Partai Politik dan lain-lain.
Dalam konsep sosiologi, Struktur dan stratifikasi sosial sering diartikan sebagai pelapisan sosial. Dari Wikipedia Indonesia, mengenai stratifikasi sosial antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.
Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial, ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial.
1. Ukuran kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
2. Ukuran kekuasaan dan wewenang, Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
3. Ukuran kehormatan, Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
Stratifikasi sosial berhubungan dengan status yang dimiliki oleh seseorang. Status seseorang dalam masyarakat dapat dimiliki dengan dua faktor yaitu dimiliki karena faktor keturunan (ascribed status) atau dimiliki dengan usaha untuk mencapai (achieved status). Menempuh pendidikan untuk mengejar kedudukan dan status yang lebih baik dalam masyarakat merupakan bentuk dari achieved status.
Stratifikasi dan pelapisan sosial dapat menggambarkan bentuk partisipasi politik yang dilakukan warga negara. Azyumardi Azra. (2002: 12-13). Menyatakan terdapat 4 (empat) Syarat yang membuat pertumbuhan demokrasi lebih memberikan harapan yakni; 1) Peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan; 2) Pengembangan dan Pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat yang favorable bagi pertumbuhan demokrasi, seperti “kelas menengah”, LSM, para pekerja, dan sebagainya; 3) hubungan internasional yang lebih adil; dan 4) Sosialisasi Pendidikan kewargaan (civic education).
Berkenaan dengan hal tersebut, Bahmuller (1996:216-221) mengidentifikasi sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi suatu negara, yaitu: “…the degree of economic development; …a sense of national identity; …historical experience and elements of civic culture.” Maksudnya adalah bahwa tingkat perkembangan ekonomi, kesadaran identitas nasional, dan pengalaman sejarah serta budaya kewarganegaraan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan demokrasi suatu negara.
C. PERAN ORGANISASI SOSIAL DALAM PENDIDIKAN POLITIK
Thomas Hobbes, dalam Leviathan, mengemukakan bahwa manusia itu padasarnya suka mementingkan diri sendiri, seperti perhatian utama mereka pada perlindungan diri; sebaliknya, John Locke, dalam Two Treatises on Government, berpendapat bahwa manusia itu pada dasarnya suka mementingkan kepentingan orang lain. Manusia tidak ada yang benar-benar suka mementingkan diri sendiri ataupun benar-benar suka mementing kepentingan orang lain. Hanya sedikit yang benar-benar memiliki karakteristik ekstrim seperti itu. Kelakuan mereka biasanya tergantung pada suasana hati mereka: minum bir semalam dapat membuat kelakuan menjadi jelek, menjadi egois ketika menjawab pertanyaan sederhana pada keesokan paginya. Namun, orang-orang dapat dan seringkali menempatkan diri untuk menolong orang lain.
Dari sudut pandang politik, setiap warga negara harus diperlakukan secara adil dan memiliki hak yang sama. Kita dapat menetapkan komposisi suatu komunitas politik yang terbentuk oleh kumpulan warga negara, dimana kita menetapkan kewarganegaran dalam hal hak pasti yang menyertakan kebeadaban dan kesetaraan anggota sebagai agen politk. Tugas utama asosiasi penduduk adalah untuk menghasilkan aturan yang pelaksanaannya bersifat mengatur dan juga membatasi area kebebasan itu sendiri. Hukum menyediakan bingkai kerja yang memberitahu kita dimana letak kebebasan itu berada. Jadi, wacana politik dalam pandangan yang terbatas ini harus dikaitkan dengan kependtingan warga negara itu sendiri secara keseluruhan, karena hal ini berkaitan dengan perumusan hukumnya. Hal itu memperhatikan kepentingan umun dari komunitasnya. Untuk itu, kita memiliki beberapa karakteristik komunitas politik:
1. Komunitas politik terbentuk oleh sejumlah warga negara, dimana kewarganegaraan ditetapkan dalam istilah hak pasti yang mengabadikan kebebasan dan kesetaraan anggotanya sebagai agen politik.
2. Komunitas ini berfungsi sebagai suatu asosiasi yang bertujuan untuk menghasilkan aturan atau hukum yang pelaksanaannya bersifat mengatur dan juga membatasi area kebebasan itu sendiri.
3. Wacana politiknya berkaitan dengan kepentingan publik, karena ada hubungannya dengan perumusan hukum.
Analisa tersebut menggarisbawahi ciri-ciri lain yang akan dimiliki suatu komunitas politik. Yaitu berupa aturan yang mengatur dan berwenang, dalam arti bahwa aturannya akan diakui sebagai sesuatu bentuk perintah yang harus ditaati. Aturan tersebut tentu saja akan di dukung oleh kekuasaan dan harus dipatuhi, dilaksanakan dan diinterpretasikan. Semua ktugas tersebut akan dijalankan dengan cara mengakui kekuasaan publik. Hal ini membawa pada suatu ciri berikutnya: jika aturan dibuat untuk mencapai penerimaan, maka badan pembuat undang-undang, pihak pelaksana,dan penguasa inerpretatif harus disahkan. Aturannya harus dilakukan oleh orang yang tepat, yaitu orang yang diakui sebagai penguasa yang tepat. Dalam cara seperti itu, aturannya akan diakui sebagai sesuatu yang valid dan berwenang, polisi akan dianggap sebagai orang yang tepat untuk mendukung jalannya pelaksanaan hokum, dan hakim akan diakui sebagai orang yang tepat untuk memberlakukan dan menginterpretasikan aturan tersebut.
Brownhil (1989) merinci karakteristik komunitas politik yang lebih detil seperti dibawah ini :
1. Adanya aturan yang mengikat
2. Otoratif: hukum harus ditaati, dilaksanakan, diberlakukan, dan diinterpretasikan; mereka memiliki aturan tersendiri yang dilaksanakan dengan proses yang tepat.
3. Sah.
4. Adanya masyarakat yang terbuka
5. Berlandaskan etika: gagasan dari orang yang berkuasa, individu yang bertanggung jawab dan gagasan mengenai saling menghormati orang lain.
6. Keadilan, kebenaran, dan aturan hukum: termasuk akses yang sama terhadap hukum, kesetaraan dalam hukum, hak menuntut keadilan (penerapan hukum dengan cara yang masuk akal), dan keadilan distributive dan social (standar kehidupan yang layak bagi setiap warga negara).
7. Non-kekerasan.
8. Adanya konsep kewajiban pada setiap komunitas
9. Adanya hubungan kepercayaan diantara sang pengatur dan pihak yang diatur.
Karakteristik yang paling terakhir membawa kita kedalam pertimbangan yang lebih luas lagi dari suatu hubungan diantara sang penguasa demokratis dan warga negaranya.
Organisasi sosial dalam UU No. 8 tahun 1985 diartikan sebagai organisasi masyarakat. Organisasi masyarakat adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat dan bertujuan untuk mewujudkan keinginan anggotanya. Organisasi sosial di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, sejak zaman penjajahan sampai dengan masa kemerdekaan saat ini organisasi massa memiliki peran yang nyata dalam mendidik masyarakat maupun merespon kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
D. PENDIDIKAN POLITIK SEBAGAI GEJALA SOSIAL
Brownhill (1989) menyatakan bahwa pendukung pendidikan politik secara garis besarnya bisa di bagi kedalam lima kelompok : mereka yang ingin mempertahankan status quo tapi merasa bahwa pada saat ini dalam suatu masyarakat yang terus berubah , pendidikan politik itu memang perlu mereka yang ingin tetap mempertahankan status quo tapi merasa bahwa pendidikan politik terbuka itu sifatnya kontraproduktif (counter-productive) ; mereka yang yakin terhadap demokrasi partisipasi tapi terkendali ; mereka yang menganut paham aktivisisme yang menginginkan golongan masyarakat yang kurang beruntung mengetahui cara bekerjanya sistem itu; kelompok yang lebih radikal yang tidak menyukai tatanan politik dan percaya bahwa pendidikan politik bisa melemahkannya.
Plato merancang sebuah sistem pendidikan yang tidak hanya menghasilkan suatu pandangan yang benar saja, tetapi untuk melakukan seleksi terhadap orang-orang yang seharusnya tidak dipilih menjadi pemimpin. Sistem pendidikan Plato ini dirancang untuk mempertahankan dan mendukung tatanan yang ada di masyarakat. Plato merancang sebuah sistem pendidikan yang dapat mengahsilkan pemimpin yang ideal untuk sebuah negara yang didambakannya serta untuk menyeleksi orang-orang yang pantas dan tidak pantas menjadi pemimpin. Pendapat Plato ini sarat dengan unsur-unsur politik. Karena berbicara mengenai pemimpin masa depan untuk sebuah negara tidak akan terlepas dari aspek politis, terutama mengenai cara mendapatkan, menjalankan dan mempertahakan kekuasaan kepemimpinannya. Selain itu juga, pendidikan dijadikan alat untuk mencegah munculnya penguasa-penguasa buas (savage masters) (Rapar, 2002: 99).
Berbeda dengan Plato, Peters menitikberatkan orientasi dari sistem pendidikan yang dirancang pada aspek kemampuan warga negara dalam memahami dunia dengan cara sendiri. Warga negara diharapkan mampu menilai gejala-gejala yang terjadi serta melakukan inovasi-inovasi dalam setiap dimensi kehidupan. Hal ini menurut penulis secara politis Peters menghendaki terbentuknya warga negara yang baik dan bertanggung jawab serta tahu akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Selain itu juga, warga negara negara yang baik mempunyai kemampuan berpikir secara global sehingga dapat menguasai dunia dengan caranya sendiri.
Dari kedua pandangan tokoh tersebut, penulis menganggap kedua dapat dikatakan saling melengkapi jika diterapkan dalam sebuah sistem pendidikan modern dalam hal orientasinya. Akan tetapi penulis kurang sepaham jika sistem pendidikan hanya dirancang untuk mempertahankan status quo saja. Karena pendidikan juga dirancang untuk terus memperbaiki sistem nilai yang ada serta untuk membuka cakrawala berpikir masyarakat atau warga negara sehingga mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi negaranya.
Kemudian, dalam sistem pendidikan yang dirancang Plato, para subjek pendidikan sengaja tidak diberi tahu adanya unsur politis dalam proses pendidikan yang berlangsung. Hal ini telah mendudukan pendidikan politik sebagai sebuah kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum). Kondisi seperti ini mungkin dilakukan untuk menghilangkan kesan negatif terhadap pendidikan politik.
Konsep hidden curicullum merupakan sebuah langkah yang tepat dilakukan dalam situasi dan kondisi masyayarakat yang masih skeptis terhadap pendidikan politik. Dengan cara tersebut, masyarakat akan tidak menyadari ketika mereka melakukan proses penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Secara tidak langsung mereka telah telah malakukan cara-cara politis dalam proses tersebut. Implementasi hidden curriculum ini secara bertahap akan membuat warga negara atau masyarakat memiliki kesadaran politik



E. PENDIDIKAN POLITIK DAN MASALAH SOSIAL (AKTUAL-FAKTUAL DAN FUNDAMENTAL)
Pendidikan politik menurut Affandi (1996:27) “sebagai alat untuk mempertahankan sikap dan norma politik dan meneruskannya dari satu generasi ke generasi berikutnya, baik melalui akulturasi informal maupun melalui pendidikan politik yang direncanakan untuk menunjang stabilitas sistem politik” Lebih lanjut Affandi (1996:29) mengemukakan pendidikan politik selain dapat menggerakkan sistem politik yang efektif, juga dapat mewarnai kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Disinilah pentingnya pendidikan politik, sehingga melalui pendidikan politik bisa ditentukan atau diprediksi arah kehidupan bangsa ke depan. Untuk itu pentingnya pendidikan politik itu bukan hanya dalam konteks organisasi negara, tetapi juga bagi semua organisasi baik yang besar maupun yang kecil, apabila organisasi tersebut ingin tetap eksis. Hal ini karena negara ini dibangun mulai dari organisasi yang kecil termasuk keluarga. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pendidikan politik perlu mengembangkan materi-materi yang mengarah dan menunjang terhadap pencapaian tujuan yang diharapkan.
Brownhill dan Smart (1989:10) mengemukakan, bahwa: “Dalam pendidikan politik siswa harus diajarkan atau dibimbing untuk menilai hakikinya; bermusyawarah; mengajukan argumen-argumen yang baik, dan yang terpenting adalah untuk mencintai kebenaran”. Dengan demikian, diharapkan produk dari pendidikan politik terbentuk warganegara yang dapat menilai dirinya sendiri, aktif dalam bermusyarawah, dapat mengajukan pendapat secara rasional, semuanya sebagai wujud dari kecintaannya terhadap kebenaran.
Terlepas dari perbedaan orientasi dukungan antara golongan kiri dan kanan, pendidikan politik menurut penulis memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka pembentukan individu-individu yang melek politik dan kemudian dapat menentukan sifat persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap sejumlah gejala politik yang terjadi. Dari sini kita dapat melihat bahwa proses pendidikan politik adalah proses pendewasan individu dalam berpolitik. Dalam hal ini Kartono (1989: 14) memberikan penjelasan tentang pendidikan politik sebagai berikut :
Bentuk pendidikan bagi orang dewasa dengan jalan menyiapkan kader-kader untuk pertaruangan dan mendapatkan penyelesaian politik, agar menang dalam perjuangan politik. Pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara etis dalam mencapai tujuan politik.

Pendidikan politik secara umum mempunyai pesan dalam mengantarkan sebuah komunitas masyarakat baik itu komunitas intelek maupun komunitas politik untuk menjadi semakin dewasa dan tertib dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain menjadi warga negara yang cerdas dan bertanggung jawab (Civic responsible). Pendidikan politik sebagai bagian pendidikan secara umum didasari oleh asumsi bahwa pendidikan politik mencakup warga negara terhadap kultural serta mempelajari sikap-sikap politik dan prilakunya terhadap politik. Brownhill dan Smart (1989: 1) mengemukan bahwa “that education and political structure of society are closely linked has probably always been recognized (ada keterkaitan yang erat anatara pendidikan dan struktuir politik yang sudah diketahui banyak orang)”. Dalam hal ini dijelaskan bahawa setiap pendidikan memiliki ciri politis tertentu yang dirancang untuk membimbing anak-anak dalam mengerjakan segala kegiatannya. Berkaitan dengan hal tersebut, sebuah sistem pendidikan memiliki ciri-ciri politis tertentu diantaranya (Kartono, 1989: 66-67) :
• Menuntun orang untuk memiliki sudut pandang
• Menilai benar salah
• Tuntutan normative
• Kerangka interpretative
Upaya pendidikan politik dalam hubungannya dengan proses pendidikan pada umumnya adalah mencoba memberikan pengalaman politik baru dengan sedikit-demi sedikit meninggalkan status quo walaupun pada prinsipnya proses pendidikan politik adalah proses indoktrinasi. Akan tetapi pendidikan politik yang dikembangkan mencoba untuk menerapkan prinsip demokrasi sebagai landasan pola pikirnya dimana setiap orang seharusnya berpatisipasi dalam setiap pengambilan keputusan politik dan sebagian besar kelompok masyarakat yang mendambakan kehidupan yang sejahtera seharusnya mampu berpartisipasi. Dalam proses pendidikan politik di masyarakat seseorang bebas untuk dididik akan tetapi bukanlah untuk menjadi sangat terdidik. Kenyataan ini didukung oleh pendapat Haines (Brownhill dan Smart: 4) bahwa upaya pendidikan politik kepada masyarakat dilakukan agar ”Free men have to decide, to choose, to elect refresentatives, suport or under mine policies, advocate, persuade, guide, teach, as well as menege, their own affairs as well as they are able”.
Berdasarkan pendapat di atas, penulis berasumsi bahwa diberikannya pendidikan politik dimaksudkan supaya rakyat atau warga negara tahu dan melaksanakan hak dan kewajibannya dalam setiap kegiatan perpolitikan. Sehingga dia dapat berkonstribusi terhadap sistem politik di negaranya. Pada akhirnya dia menjadi warga negara yang melek politik. Hal ini menunjukkan suatu orientasi dari pelaksanaan upaya pendidikan politik yang mengarah kepada peningkatan status diri warga negara yang menyadari fungsi politiknya. Dengan kata lain warga negara yang memiliki kasadaran politik.
Pendidikan yang diberikan kepada rakyat pada dasarnya memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dimana pendidikan mengajarkan rasa hormat, penerimaan terhadap kekuasaan dan masyarakat yang terbiasa hidup displin. Dalam kerangka pendidikan politik fungsi kontrol sosial tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri warga negara yang baik seperti yang diungkapkan oleh Cogan yaitu :
• Rasa kepribadian/jati diri yang mandiri baik sebagai insan ilahiah, soaial maupun kebangsaan
• Rasa nikmat akan sejumlah haknya baik legal, political, socio-economical rights dan mampu menjalankan baik dan benar
• Rasa tanggung jawab akan kewajiban-kewajiban yang menjadi keharusannya, sehingga selalu menjaga keseimbangan anatara kepentingan publik dengan privat serta menjelmakan tanggung jawab menjadi kewajiban dan tugas keharusan
• Minat dan keterlibatan akan public affairs sehingga siap, mau dan mampu berpartisipasi secara aktif, kreatuf, konstruktif dan demokratis.
• Kemampuan untuk menyerap /menerima nilai-nilai dasar kemasyarakatan, sehingga mampu menjalin kerja sama, kejujuran, kedamaian, serta rasa cinta dan kebersamaan dalam mempersiapkan hari esok. (Djahiri, 2002: 92)


F. TIPOLOGI DAN JENIS-JENIS PENDIDIKAN POLITIK DALAM MASYARAKAT
Penyampaian materi pendidikan politik sebagaimana tersebut di atas menurut Kantaprawira (1999:57) dapat dilakukan melalui:
a. Bahan bacaan seperti surat kabar, majalah dan lain-lain bentuk publikasi massa yang biasa membentuk pendapat umum.
b. Siaran radio dan televisi serta film (audio-visual media).
c. Lembaga atau asosiasi dalam masyarakat seperti mesjid dan gereja tempat penyampaian khotbah, dan juga lembaga pendidikan formal ataupun informal.
Menurut Ruslan (Ridha, 2002:58) institusi untuk menyampaikan materi pendidikan politik, yaitu: “Keluarga, sekolah, partai politik dan kelompok penekan, berbagai media informasi dan komunikasi massa”. Pendapat senada dikemukakan oleh Mas’oed (1997:37), bahwa: “Sarana sosialisasi politik dapat dijalankan melalui bermacam-macam lembaga, yaitu keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, media massa, dan kontak-kontak politik langsung”.
Plato merancang sebuah sistem pendidikan yang dapat mendukung dan mempertahankan tatanan yang ada dalam masyarakat, kurikulumnya dirancang untuk mengantarkan orang memahami realita dan menuju kecermelangan, masyarakat tidak perlu tahu bahwa mereka belajar pendidikan politik. Tokoh pendidikan politik R.S Peters (Broewnhill, 1989) merancang sebuah sistem pendidikan dengan karakteristik sebagai berikut : pendidik haruslah konservatif dan mendukung status quo, pendidikan harus dapat menuntun orang untuk dapat memandang dunia dengan cara tertentu, pendidikan memberikan kategori untuk sesuatu yang benar atau salah dan memberikan kerangka innterpretatif yang memungkinkan mereka dapat memahami dunia, membutat penilaian tentang hal tersebut dan membangun inovasi.
Tipologi lainnya yang diutrakan oleh beberapa ahli dalam pendidikan politik antara lain :
• Dalam negara demokrasi sudah selayaknya para penduduknya mengerti politik. Oleh karena itu logikanya pemerintahan yang representative membutuhkan pendidikan politik, karena apabila seseorang menginginkan akhir suatu keadaan, maka orang tersebut harus mencari cara untuk menuju keakhir tersebut (Denis Heater)
• Terdapat paradoks dalam demokrasi dimana 80 %-90 % warga negara sekarang dan masa depan hanya mengetahui sedikit tentang perpolitikan di daerah dan nasional (Stradling)
• Pendidikan politik di sekolah telah memiliki tempat yang sah di dalam kurikulum sekolah karena pengetahuan politik itu merupakan prasayarat mutlak untuk menjadi warga negara dewasa. (Robert Dunn)
• Pendidikan politik sebagai cara mempertahankan status quo.
• Pendidikan politik sebagai wahana perubahan (Gerakan Buruh)
• Pendidikan merupakan kekuatan yang akan mengarah kepada demokratisasi yang lebih besar.oleh karena itu diperlukan pendidikan politik yang berorientasi peran. (Ridley)
Aspek moral menjadi dasar dalam setiap kegiatan politik dan pemberian pendidikan politik. Pendidikan politik mengarahkan setiap warga negara untuk senantiasa mematuhi kewajiban-kewajiban politik yang dimilikinya. Dengan kata lain, pendidikan politik memperkenalkan suatu sistem nilai yang terdapat dalam sistem politik yang berlaku di negara.
Proses pengajaran dan pembelajaran pendidikan politik pada dasarnya dimulai dengan membelajarkan siswa untuk lebih mengenal nilai, fakta dan sudut pandang. Hal tersebut dilakukan supaya setiap siswa mampu untuk berargumen secara rasional berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
II. MIKRO PENDIDIKAN POLITIK
A. PROSES PEMBENTUKAN/PEMBUATAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL (PERAN PEMERINTAH, MPR/DPR/DPD/DPRD).
Ramlan Surbakti (1999:190) Kebijakan umum adalah kebijakan yang mengikat, menyangkut dan mempengaruhi masyarakat umum. Pilihan terbaik dari berbagai alternative mengenai urusan-urusan yang menjadi kewenangan pemerintah. Upaya pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia secara terencana dimulai sejak tahun 1969 dalam Program Pembangunan Lima Tahun Pertama (Pelita I). Proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan dibagi menjadi empat tahap Ramlan Surbakti (1999:197) :
1) tahap politisasi, menggugah perhatian atau dukungan atau tekad pemerintah.
2) Perumusan dan pengesahan program
3) Pelaksanaan Program
4) Monitoring dan evaluasi pelaksanaan program
Beberapa tokoh lainnya mendefinisikan kebijakan seperti berikut ini:
1) Dye : Kebijakan publik adalah apapun yang pemerintah pilih untuk melakukan atau tidak melakukan.
2) Kartasasmita : kebijakan publik merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah mengenai suatu masalah, (2) apa yang menyebabkannya (3) apa pengaruhnya.
3) Edwar III : Kebijakan publik adalah apa yang pemerintah katakan dan dilakukan atau yang tidak dilakukan. Kebijakan merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah.
Kebijakan public yang dibuat oleh pemerintah sebaiknya direncanakan dengan mengikutsertakan masyarakat. Selain itu dalam pelaksanaannya pun melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat juga harus dilibatkan untuk mengawasi atau menilai kebijakan publik tersebut. Dengan demikian bentuk partisipasi masyarakat dalam kebijakan public dapat dilakukan dalam kegiatan sebagai berikut :
1) dalam merumuskan kebijakan publik
2) pelaksanaan kebijakan publik
3) pengawasan atas kebijakan publik
Dalam kehidupan kenegaraan peraturan perundang-undangan seperti UUD 1945 sampai dengan Peraturan Daerah disusun oleh lembaga yang berwenang, dengan proses penyusunannya masing-masing berbeda. Proses penyusunan Peraturan Perundang-undangan secara lebih jelas dapat kalian pelajari dibawah ini:
a. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
Ketentuan dalam UUD 1945 pasal 3 ayat (1) UUD 1945 lembaga Negara yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan mengubah UUD adalah MPR. Hal ini menunjukkan bahwa yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Secara historis penyusunan UUD 1945 dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian di tetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945.
Kemudian dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia, salah satu tuntutan reformasi dari berbagai komponen bangsa menghendaki adanya Perubahan UUD 1945. Perubahan UUD 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan dan melengkapi pasal-pasal dalam UUD 1945 agar dapat mengimbangi dinamika perubahan jaman. Perubahan UUD 1945 dilakukan oleh MPR dalam empat masa persidangan. Adapun proses perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut :
Proses perubahan UUD 1945 mengikuti ketentuna pasal92 Peraturan Tata Tertib MPR mengenai tingkat-tingkat pembicaraan dalam membahas dan mengambil putusan terhadap materi siding MPR. Tingkat Pembicaraan tersebut sebagai berikut :
a. Tingkat I : Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan ini menjadi Rancangan Putusan Majelis sebagai bahan pokok Pembicaraan tingkat II.
b. Tingkat II : Pembahasan oleh rapat Paripurna Majelis yang didahului oleh penjelasan Pimpinan dan dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-fraksi.
c. Tingkat III : Pembicaraan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis terhadap semua hasil pembicaraan Tingkat I dan II. Hasil pembicaraan pada Tingkat III ini menjadi Rancangan Putusan Majelis.
d. Tingkat IV : Pengambilan putusan oleh Rapat Paripurna Majelis setelah mendengar laporan dari pimpinan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis serta usulan atau pendapat dari fraksi-fraksi bila diperlukan.
Pada pembicaraan tingkat I Panita Ad Hoc I Badan Pekerja MPR sebagai salah satu alat kelengkapan Badan Pekerja MPR ditugasi untuk mempersiapkan rancangan perubahan UUD 1945. Panitia Ad Hoc I memulai tugasnya dengan :
a. Rapat Dengar Pendapat Umum dengan berbagai kalangan masyarakat seprti para pakar, perguruan tinggi lembaga pengkajian, organisasi kemasyarakatan dan LSM untuk didengar masukan dan tanggapan secara kritis dan objektif berkaitan dengan rancangan UUD 1945.
b. Kunjungan Kerja Ke daerah untuk mendengar masukan dan tanggapan secara kritis dan objektif berkaitan dengan rancangan UUD 1945.
c. Seminar untuk mendengar masukan dan tanggapan secara kritis dan objektif berkaitan dengan rancangan UUD 1945.
d. Studi Banding ke luar negeri untuk mendalami konstitusi, konsep, praktik dan pengalaman penyelenggaraan Negara, system pemerintahan, system kepartaian, penataan hukum, mahkamah konstitusi, system pemilihan umum, hubungan sipil-militer, implementasi hak asasi manusia di berbagai Negara itu.
e. Pembentukan tim panitia ahli ad hoc I Badan Pekerja MPR
Kemudian dalam melakukan pembahasan materi rancangan UUD 1945 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja (BP) MPR telah menyepakati mekanisme pembahasan sebagai berikut :
a. Seluruh materi yang belum sempat dibahas pada siding-sidang MPR dibahas pada rapat pleno Panitia Ad Hoc I BP MPR.
b. Dilakukan rapat perumusan oleh Tim Perumus yang dibentuk Panitia Ad Hoc I BP MPR.
c. Hasil kesepakatan tim perumus di bahas dalam rapat pleno untuk mengsikronisasikan materi-materi yang saling terkait.
d. Materi hasil sinkronisasi dibahas dalam rapat finalisasi dengan tujuan mensistematiskan materi rangcangan UUD 1945.
e. Panitia Ad Hoc I BP MPR menyelenggarakan kegiatan review yang didahului kegiatan pre-review.
f. Hasil kerja Panitia Ad Hoc I BP MPR disahkan dalam rapat kerja Panitia Ad Hoc I dan Badan Pekerja MPR.
Pada pembicaraan tingkat II dilakukan pembahasan materi rancangan perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh rapat paripurna MPR pada sidang MPR yang didahului oleh penjelasan pimpinan MPR dan dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-fraksi MPR.
Pada pembicaraan tingkat III dilanjutkan dengan pembahasan oleh Komisi Majelis terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan II. Selama pembahasan dalam Komisi Majelis terbuka terhadap masukan, tanggapan dan pendapat dari anggota komisi.
Pada pembicaraan tingkat IV diputuskan dalam rapat paripurna MPR setelah mendengar laporan dari pimpinan komisi dan bilamana perlu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi MPR.
b. Undang-Undang (UU)
Undang-undang dibentuk untuk melaksanakan ketentuan yang diatur dalam UUD 1945. Lembaga yang berwenang membentuk UU adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Suatu undang-undang diberlakukan setelah mendapatkan persetujuan bersama DPR dan Presiden. Kriteria masalah diatur dalam undang-undang bila :
a. UU dibentuk atas perintah ketentuan UUD 1945.
b. UU dibentuk berdasarkan program legislasi nasional.
c. UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah UU yang sudah ada.
d. UU dibentuk karena berkaitan dengan hak asasi manusia.
e. UU dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban dan kepentingan orang banyak.
Proses penyusunan penyusunan peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang meliputi kegiatan-kegiatan berikut :
1. Tahap Penyiapan Rancangan Undang-undang (RUU)
Rancangan Undang-undang dapat dibuat oleh oleh prakarsa Pemerintah atau atas prakarsa DPR. Pemerintah dalam hal ini adalah seluruh departemen atau lembaga pemerintahan dapat mengajukan prakarsa pembentukan Undang-undang.
Anggota DPR dapat mengajukan RUU dengan menggunakan hak inisiatif. Pengusulan RUU dengan menggunkan hak inisiatif dapat diajukan apabila disetujui oleh sepuluh anggota DPR dari fraksi yang berbeda. Usulan disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR. Selanjutnya dibawa ke Rapat Paripurna untuk dibahas. Apabila disetujui RUU itu dilanjutkan ketahap berikutnya. Sebaliknya, apabila tidak sisetujui berarti RUU tersebut tidak dapat ditindak lanjuti.
2. Tahap Pembahasan di DPR
Tahap Pembahasan bagi Rancangan Undang-undang melalui DPR RI ditetapkan melalui 4 (empat) tingkat Pembicaraan :
a. Pembicaraan Tingkat I : Rapat Paripurna
Pembicaraan Tingkat I adalah pemberian keterangan atau penjelasan pemerintah mengenai RUU yang berasal dari Pemerimntah dan pemberian penjelasan dari pimpinan komisi atau pimpinan Panitia Khusus atas nama DPR jika RUU yang dibahas adalah RUU yang berasal dari DPR (hak inisiatif). Pembahasan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan melibatkan Dewan Perwakilan Daerah.
b. Pembicaraan Tingkat II : Rapat Paripurna
Pembicaraan Tingkat II berisi, jika RUU berasal dari pemerintah maka dilakukan pemandangan umum para anggota DPR yang mewakili fraksi masing-masing. Serta jawaban Pemerintah terhadap pemandangan pemandsangan umum fraksi-farksi. Apabila RUU berasal dari usul inisiatif DPR, maka dilakukan tanggapan pemerintah terhadap RUU usul inisiatif dan jawaban pimpinan panitia khusus atas nama DPR terhadap tanggapan Pemerintah tersebut.
c. Pembicaraan tingkat III : Rapat Komisi
Semua RUU dibahas secara mendalam dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi atau panitia khusus. Dalam rapat ini diundang pihak-pihak yang mewakili Pemerintah. Apabila dianggap perlu DPR dapat melakukan dengar pendapat (Hearing) dengan masyarakat, organisasi massa atau lembaga swadaya masyarakat.
d. Pembicaraan Tingkat IV : Rapat Paripurna
Pembicaraan Tingkat IV merupakan pembicaraan terakhir, dengan tahapan pembicaraannya adalah :
1. Pelaporan hasil rapat Tingkat III
2. Penyampaian pendapat akhir fraksi dan apabila perlu disampaikan juga catatan-catatan dari fraksi.
3. Sambutan Pejabat yang ditunjuk Pemerintah sebagai komentar terhadap putusan yang ditetapkan DPR.
3. Tahap Pengesahan dan Pengundangan
Hasil pembahasan RUU yang telah disetujui DPR akan diberikan kepada Presiden untuk ditandatangani dan disahkan. Kemudian Undang-undang tersebut akan diundangkan oleh Menteri Negara/Sekretaris Kabinet. Pengundangan mempunyai maksud agar seluruh warga Negara mengetahui atau dianggap mengetahui bahwa ada Undang-undang yang baru dan mengikat semua.
Dalam hal rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 (tiga puluh hari) semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang itu sah menjadi undang-undang.
c. Peraturan Pemerintah (PP)
Untuk melaksanakan suatu Undang-Undang, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah. Jadi Peraturan Pemerintah merupakan bentuk pelaksanaan dari Undang-undang. Adapun tahap penyusunannya adalah :
a. Tahap persiapan rancangan Peratuan Pemerintah (PP)
b. Rancangan PP disiapkan oleh Menteri sebagai pimpinan Departemen atau kepala lembaga pemerintah non departemen
c. Tahap penetapan dan pengundangan
PP ditetapkan Presiden (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945) kemudian diundangkan oleh Sekretaris Negara.
d. Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Perda dibentuk sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah. Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Masyarakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atas pembahasan rancangan Perda.
Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakkan hukum, seluruhnya atau sebagai kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undngan. Dalam membuat ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan dan denda paling banyak 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Setelah mendapat persetujuan bersama, Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama tujuh hari setelah ditetapkan. Apabila Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah melalui peraturan presiden (Perpres) paling lama enam puluh hari sejak diterimanya Perda tersebut.
Suatu rancangan undang-undang atau Rancangan peraturan daerah yang diusulkan memuat sistematika sebagai berikut :
a. Judul peraturan perundang-undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan dan nama peraturan perundang-undangan.
b. Pembukaan peraturan perundang-undangan memuat Frase dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Jabatan Pembentuk peraturan perundang-undangan, Konsiderans, Dasar hukum dan Diktum.
c. Batang tubuh peraturan perundang-undangan memuat semua substansi peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal-pasal.
d. Penutup peraturan perundang-undangan memuat rumusan perintah pengundangan, penandatanganan atau pengesahan, pengundangan dan akhir bagian penutup.
e. Penjelasan merupakan tafsiran resmi terhadap suatu peraturan perundang-undangan, penjelasan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam membuat peraturan lebih lanjut.
f. Lampiran dimuat apabila memang diperlukan dan harus dinyatakan dalam batang tubuh.
B. KEBIJAKAN PENDIDIKAN POLITIK DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN PENDIDIKAN
Keberadaan negara tidak terlepas dari proses politik. Agar warganegara mengetahui dan memahami proses politik dalam kehidupan bernegara, maka perlu diberikan pendidikan politik. Dengan demikian, maka pendidikan politik di suatu negara memegang peranan penting, lebih-lebih bagi negara yang menganut sistem demokrasi, pendidikan politik menjadi keharusan dan kebutuhan bagi warganegara. Dikatakan keharusan karena rakyat sebagai pemegang kekuasaan dan dikatakan kebutuhan karena rakyat membutuhkan perlakuan politik yang wajar dari pemerintah (negara). Sehingga dengan pendidikan politik rakyat akan mengetahui kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan dan bagaimana cara melaksanakan kekuasaannya itu serta apa saja yang dibutuhkannya sebagai warganegara.
Ada beberapa istilah tentang pendidikan politik yang dikemukakan oleh para pakar. Alfian (1986: 243-245) menyebut beberapa istilah untuk pendidikan politik, yaitu: “Sosialisasi politik, pendidikan politik, kebudayaan politik, dan pembangunan politik yang satu sama lain ada relevansinya”. Menurut Alfian (1981:235), “Pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun”. Dengan demikian, pendidikan politik menurut Alfian sama dengan sosialisasi politik, yaitu proses menyampaikan atau menyebarkan program-program pemerintah (penguasa) kepada masyarakat dalam suatu sistem politik. Senada dengan Alfian, Wahab (1996:5) mengemukakan, bahwa: “Pendidikan politik secara umum adalah sosialisasi nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Kedua pendapat tersebut berkaitan erat dengan sosialisasi politik.
Berdasarkan pendapat tersebut, melalui sosialisasi politik masyarakat dibimbing dan diarahkan bagaimana seharusnya berpartisipasi dalam sistem politik. Demikian pula pewarisan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi penerus merupakan bagian dari sosialisasi politik. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gaffar (2000:118), bahwa: “Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, .”.
Menurut Rush & Althoff (1983:47), “Sosialisasi politik merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha yang saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politiknya yang relevan”. Dengan demikian, dalam sosialisasi politik ini terjadi interaksi timbal balik antara individu berdasarkan pengalaman politik yang relevan.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa sosialisasi politik merupakan proses menyebarluaskan atau memasyarakatkan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam suatu sistem politik. Sosialisasi politik ini dapat dilakukan baik secara formal, informal, maupun nonformal melalui institusi keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (ormas), maupun partai politik (parpol).
Brownhill dan Smart (1989:9) mengemukakan bahwa “Pendidikan politik adalah sebagai suatu cara untuk mempertahankan keadaan yang tetap stabil pada suatu saat tertentu, serta diharapkan dapat memberikan dasar bagi proses demokrasi yang lebih maju”. Dengan demikian, pendidikan politik erat kaitannya dengan mempertahankan keadaan agar tetap stabil pada periode kekuasaan tertentu. Di sini terlihat kentalnya kepentingan kekuasaan melalui pendidikan politik.
Dari beberapa pendapat para ahli sebagaimana dikemukakan di atas, dapat penulis tarik kesimpulan, bahwa pendidikan politik adalah upaya pendidikan yang sistematis, berkesinambungan dan menyeluruh bagi setiap warganegara dalam rangka membentuk warganegara yang baik (good citizen) yaitu warganegara yang melek politik (political literacy), memiliki kesadaran politik (political awareness), dan berpartisipasi dalam kehidupan politik (political participation) secara cerdas dan bertanggung jawab.
Istilah lain untuk pendidikan politik yaitu pembangunan politik. Alfian (1986:243) menyatakan bahwa: “pendidikan politik dalam suatu masyarakat, itu sekaligus berarti pembangunan politik”. Menurut Affandi (2004:11), “Pembangunan politik merupakan proses penataan kehidupan pemerintah yang terus-menerus sesuai dengan pertumbuhan sosial politik masyarakat dan tidak dapat dibendung oleh suatu rezim tertentu yang menghendaki kekuasaan absolut”. Pendapat hampir senada dikemukakan oleh Almond dan Powel (Huntington, 1985:92), yang menyatakan bahwa: “Pembangunan politik adalah respons sistem politik terhadap perubahan-perubahan dalam lingkungan masyarakat dan internasional, terutama respons sistem terhadap tantangan-tantangan pembinaan negara, pembinaan bangsa, partisipasi dan distribusi”. Dari definisi tersebut jelas, bahwa perubahan yang selalu terjadi dalam kehidupan manusia harus di respons melalui pembangunan politik (pendidikan politik), sehingga manusia sebagai warganegara dan warga dunia dapat menyikapi perubahan yang terjadi secara cerdas dan bertanggung jawab.
Pendidikan politik disebut sebagai kebudayaan (budaya) politik, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam pandangan Almond dan Verba (Sjamsuddin, 1991:21) “Budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warganegara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warganegara di dalam sistem itu”. Dengan demikian, terbentuknya sikap warganegara terhadap sistem politik adalah melalui pendidikan politik baik di sengaja ataupun tidak.
Dari uraian di atas, beragam istilah untuk pendidikan politik baik sosialisasi politik, kebudayaan politik, maupun pembangunan politik semuanya berkaitan dengan upaya untuk mewariskan nilai-nilai yang erat hubungannya dengan kehidupan politik kepada generasi muda sebagai generasi penerus kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga dapat menyikapi berbagai persoalan politik secara proporsional, cerdas, dan bertanggung jawab.
Pendidikan politik merupakan proses pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat ke arah pemahaman dan kesadaran berpolitik. Pendidikan politik merupakan syarat mutlak bagi timbulnya kehidupan demokrasi dan tumbuh kembangnya kehidupan rule of law. Kondisi tersebut akan terwujud apabila pendidikan politiknya dilaksanakan secara demokratis dan menjauhi hal-hal yang bersifat indoktrinasi.


C. SOSIALISASI PENDIDIKAN POLITIK
Menurut Rush & Althoff (1983:47), “Sosialisasi politik merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha yang saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politiknya yang relevan”. Dengan demikian, dalam sosialisasi politik ini terjadi interaksi timbal balik antara individu berdasarkan pengalaman politik yang relevan. Gaffar (2000:118), bahwa: “Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, .”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa sosialisasi politik merupakan proses menyebarluaskan atau memasyarakatkan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam suatu sistem politik. Sosialisasi politik ini dapat dilakukan baik secara formal, informal, maupun nonformal melalui institusi keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (ormas), maupun partai politik (parpol).
Sosialisasi pendidikan politik dilakukan oleh lembaga pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam melaksanakan pendidikan politik. Ditingkat persekolahan pendidikan politik selama ini dilaksanakan oleh mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Sosialisasi pendidikan politik juga dilakukan oleh partai politik. Menurut Miriam Budiardjo secara umum Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan mereka.
Sedangkan menurut pasal 1 UU nomor 31 tahun 2003 tentang partai politik, bahwa yang disebut partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.
Fungsi partai politik menurut Miriam Budiardjo adalah :
1) partai politik sebagai sarana komunikasi politik
Besarnya jumlah penduduk dalam suatu negara, menyebabkan aspirasi seseorang sulit untuk didengar. Oleh karenanya partai politik menampung aspirasi perorangan atau kelompok tersebut dan kemudian merumuskannya kembali untuk diperjuangkan. Partai politik juga dapat menjadi alat untuk menyampaikan kepentingan pemerintah kepada masyarakat.
2) partai politik sebagai sarana sosialisasi politik
di dalam ilmu politik sosialisasi politik adalah proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses ini berlangsung mulia dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Sosialisasi politik oleh partai politik bisa berupa pengenalan program-program partai politik dengan harapan masyarakat dapat memiliki pengetahuan tentang politik dan partai politik dalam membangun bangsa.
3) partai politik sebagai sarana perekrutan politik
dalam fungsi ini partai politik mencari anggota baru dan mengajak orang berbakat. Hal itu dapat di diperoleh melalui kontak pribadi, persuasi dan organisasi massa. Dalam perekrutan anggota juga diusahakan menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti pemimpin lama.
4) partai politik sebagai sarana pengatur konflik
Dalam sebuah negara demokratis, perbedaan dan persaingan pendapat dalam masyarakat adalah sesuatu yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya.
Menurut UU No 31 tahun 2003 fungsi partai politik adalah sebagai berikut :
1) pendidikan politik bagi anggotanya
2) penciptaan iklim kondusif dan perekat persatuan dan kesatuan
3) penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstistusional.
4) partisipasi politik warga negara
5) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrsi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
Dalam masa kolonial Belanda partai politik (parpol) merupa¬kan sarana yang relatip baru untuk melakukan pendidikan politik dan mobilisasi politik didalam rangka perjuangan kemerdekaan. Dalam periode selanjutnya, masa pendudukan Jepang, pemerintah militer melarang kegiatan parpol namun corak kegiatan parpol tetap berkembang di dalam gerakan-gerakan di bawah tanah.
Setelah proklamasi kemerdekaan, lahirlah beberapa parpol yang sebenarnya dalam banyak segi masih merupakan kelanjutan dari parpol-parpol yang pernah berperan di zaman kolonial Be¬landa dan pendudukan Jepang. Kalaupun muncul parpol baru kebanyakan pemimpinnya telah memiliki pengalaman dalam parpol di masa-masa sebelumnya. Semenjak itulah parpol terus berkembang dalam pasang surutnya pelbagai perubahan politik hingga sampai ke masa sekarang ini.
Huttington dalam Bambang Cipto (1996:4) mengklasifikasikan pertumbuhan dan perkembangan partai kedalam empat tahap, yakni tahap faksional, tahap polarisasi, tahap perluasan dan tahap pelembagaan. Fungsi partai politik menurut Palmer adalah menyediakan 1) dukungan basis massa yang stabil, 2) sarana integrasi dan mobilisasi dan 3) memelihara kelangsungan kehidupan politik.
Tumbuh dan berkembangnya partai politik tidak terlepas dengan kondisi masyarakat bangsa itu sendiri. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan tingkat heteroginitas (kemajemukan) yang sangat besar. Perbedaan suku-bangsa, agama, regional dan pelapisan sosial secara analitis dapat dibicarakan sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam kenyataan semuanya jalin menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi dasar bagi terjadinya pengelompokan dan sosialisasi politik masyarakat Indonesia.
D. KONTROL SOSIAL TERHADAP PENDIDIKAN POLITIK
Masyarakat yang menyadari akan hak dan kewajibannya serta aktif berpartisipasi dalam kehidupan kenegaraan merupakan salah satu ciri dari masyarakat demokratis atau civil society (masyarakat sipil). Masyarakat sipil adalah masyarakat yang bercirikan besarnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan yang menyangkut masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat sipil pemerintah bertindak secara demokratis dan rakyat bertindak sebagai penentu kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebijakan publik termasuk dalam hal pendidikan politik yang telah dirumuskan dan ditetapkan akan menjadi tidak berguna apabila tidak dilakanakan serta tidak diawasi oleh masyarakat itu sendiri. Kebijakan publik ditujukan dan harus dilaksanakan oleh masyarakat. Tujuan dibuatnya kebijakan publik akan cepat tercapai apabila didukung dan dilaksanakan masyarakat.
Pelaksanaan pendidikan politik harus dievaluasi. Evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan politik dimaksudkan untuk menilai apakah pendidikan politik berhasil ataukah tidak, misalnya apakah hanya sebagai alat kepentingan penguasa atau untuk kepentingan bangsa dan negara. Bila pendidikan politik berdampak positif maka kebijakan itu dapat terus dilaksanakan. Namun jika berdampak negatif maka pemerintah dapat merubah atau mengganti kebijakan tersebut. Oleh karenanya agar pendidikan politik sesuai dengan yang diharapkan maka semua proses penyusunan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pendidikan politik harus mengikutsertakan masyarakat sesuai dengan mekanisme yang ditentukan.
E. KESADARAN PENDIDIKAN POLITIK
Berhasil tidaknya pendidikan politik mewujudkan tujuan yang diharapkan tergantung kesadaran akan pentingnya proses politik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dari seluruh komponen bangsa. Alfian (1981:236), mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
Keberhasilan pendidikan politik antara lain ditentukan oleh adanya suatu perspektif yang jelas dan bisa diperoleh melalui dua dimensi. Dimensi pertama berupa gambaran jelas tentang sistem politik ideal yang diinginkan. Dimensi kedua ialah realita atau keadaan sebenarnya dari masyarakat itu sendiri yang langsung bisa diperbandingkan dengan tuntutan-tuntutan sistem ideal tadi.
Pernyataan di atas menegaskan relevansi antara gambaran tentang sistem politik yang ideal (das sollen) dengan keadaan sebenarnya yang berkembang dalam masyarakat (das sein) merupakan faktor penting untuk keberhasilan pendidikan politik. Tanpa itu, tujuan pendidikan politik untuk mewujudkan warganegara yang baik hanya berupa angan-angan belaka. Untuk itu meminimalisasi kesenjangan antara gambaran sistem politik yang ideal dengan realitas yang berkembang di masyarakat merupakan salah satu langkah yang tepat untuk mewujudkan tujuan pendidikan politik.
F. EFEKTIVITAS PENDIDIKAN POLITIK
- PERAN APARAT PENDIDIKAN
Bangsa Indonesia memiliki luas wilayah yang sangat besar dan dengan jumlah penduduk lebih dari 210 juta yang diwarnai perbedaan suku, agama, ras dan golongan. Luas wilayah dan heterogenitas bangsa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang memiliki kompleksitas permasalahan yang tinggi. Oleh karenanya seorang pemimpin di Indonesia harus memiliki kemampuan dan kepribadian yang luar biasa.
UU No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Telah menentukan syarat yang begitu ideal bagaimana syarat seorang calon Presiden. UU tersebut menegaskan bahwa seorang pemimpin (presiden) tidak hanya harus mampu secara fisik akan tetapi juga ia harus bersih dalam sikap dan perilaku. Syarat dan idealitas seorang pemimpin sebenarnya tidak hanya harus dimiliki oleh seorang calon Presiden saja, melainkan juga harus dimiliki oleh semua pemimpin di Indonesia.
Seorang pemimpin yang teladan dalam menjalankan pemerintahannya merupakan contoh yang baik dan dapat dijadikan alat dalam mendidik warga negaranya untuk melek politik serta berpartisipasi politik secara positip. Aparat pendidikan tidak dalam tataran yang lebih luas mulai dari pembuat kebijakan pendidikan sampai dengan para guru dipersekolahan.
Seorang guru teladan merupakan contoh yang baik bagi siswanya, namun guru juga harus lebih kreatif dalam melaksanakan pendidikan politik ini. Kreatifitas guru dalam melaksanakan pendidikan politik dibutuhkan agar pendidikan politik tidak terjebak menjadi indoktrinatif.

- PERAN LEMBAGA LEMBAGA PENDIDIKAN
Lembaga pendidikan yang dimaksud disini, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Lembaga pendidikan sebagai sarana pembelajaran dan juga sarana sosialisasi nilai, pengetahuan dan keterampilan memiliki peran yang strategis dalam melaksanakan pendidikan politik. Ditingkat persekolahan pendidikan politik selama ini diwakili oleh mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Efektivitas pelaksanaan pendidikan politik di lembaga pendidikan pada saat ini menghadapi kendala diantaranya, secara praksis bahwa PKn merupakan pendidikan politik masih lemah. Hal ini dapat dilihat dari persentase pendidikan politik dalam PKn. Dalam praktek pembelajarannya PKn juga diberikan waktu yang sangat sedikit yaitu hanya dua jam dalam seminggu. Waktu ini sangat terbatas dibandingkan dengan target kurikulum yang harus digapai.
Disamping dua masalah diatas, PKn juga dihadapkan dengan realitas masih adanya lembaga pendidikan yang memandang sebelah mata terhadap PKn, seperti dengan sering terjadinya guru PKn bukan sarjana dari Pendidikan PKn itu sendiri. Yang lebih ironis adalah beberapa sekolah mengajarkan PKn hanya melalui modul. Pembelajaran PKn melalui modul tidaklah memadai, karena Pendidikan politik tidak hanya mengajarkan bahwa siswa itu tahu politik tetapi juga harus dapat menghantarkan siswa untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan politik.

- PERAN LEMBAGA-LEMBAGA SOSIAL PENDIDIKAN
Lembaga-lembaga sosial pendidikan, dapat berperan lebih jauh untuk melaksanakan pendidikan politik. Peran lembaga sosial pendidikan ini akan lebih efektif karena tidak tergantung dengan kepentingan pemerintah semata, melainkan dapat mengkoreksi berbagai kelemahan yang dilakukan pemerintah dalam pelaksnaan pendidikan politik. Hal ini dapat dilakukan karena lembaga sosial pendidikan tidak memiliki ketergantungan yang signifikan terhadap pemerintah.
Efektivitas lembaga sosial pendidikan akan meningkat, manakala partisipasi lembaga sosial pendidikan dalam mewujudkan pendidikan politik ditujukan untuk memperkuat fundamen kebangsaan bukan kepentingan golongan semata. Untuk mewujudkan bahwa lembaga sosial pendidikan hanya mengedepankan kepentingan kebangsaan semata maka nilai netralitas lembaga sosial pendidikan harus dikedepankan.

- PERAN MASYARAKAT
Hak dan peran kita sebagai warga negara untuk turut serta mewujudkan demokrasi dan kedaulatan rakyat semakin terbuka lebar semenjak amandemen UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) dan pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945 memberikan jaminan hukum kepada kita untuk mewujudkan demokrasi. Rakyatlah pemilik syah negara Republik Indonesia, oleh karenanya kita sebagai bagian dari rakyat wajib berperan serta mewujudkan terciptanya tatanan kehidupan negara yang lebih baik. Kedaulatan dan hak rakyat akan tercipta manakala amanah UUD 1945 pasal 27 sampai denga 34 telah terlaksana dengan baik. Pasal tersebut menjamin hak dan kewajiban kita sebagai warga negara.
Kita juga tidak boleh hanya menuntut hak akan tetapi harus diimbangi dengan pelaksanaan kewajiban terhadap negara. Salah satu kewajiban warga negara adalah seperti membayar pajak dan membela negara. Kita juga memiliki kewajiban untuk mengawal pelaksanaan kontitusi agar sesuai dengan harapan masyarakat. Cara masyarakat mengawal konstitusi adalah dengan menumbuhkan kesadaran bernegara maupun dalam pemerintahan.
Masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintahan, yaitu dengan jalan :
1. memilih wakil rakyat yang akan duduk di lembaga negara
2. memberikan masukan terhadap kompetensi dan kepribadian seorang calon pejabat negara ketika diadakannya uji kelayakan dan kepatutan.
3. memberikan masukan terhadap jalannya pemerintahan.
4. mengakses data dan informasi arah penyelanggaran pemenrintahan
Dalan lingkup yang lebih kecil peran masyarakat dibangun dengan kepedulian terhadap jalannya pemerintahan dalam lingkungan masyarakat seperti RT, RW atau Desa/kelurahan. Masyarakat harus memiliki kemampuan minimal untuk berperan serta dalam kehidupan bernegara demi tegaknya demokrasi dan kedaulatan rakyat.
G. KEPASTIAN HUKUM DALAM PENDIDIKAN POLITIK
Pendidikan politik di Indonesia sebagai bidang kajian dan mata pelajaran tersendiri belum memiliki landasan hukum yang pasti. Pendidikan politik selama ini baru diwakili dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan kewarganegaraan merupakan nama mata pelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan mata kuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pasal 37). Ketentuan ini lebih jelas dan diperkuat lagi pada Pasal 37 bagian Penjelasan dari Undang-Undang tersebut bahwa “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”.
Sebelumnya dalam Penjelasan pasal 39 UU no. 2 tahun 1989, Pendidikan Kewarganegaraan dalam sudut politik, dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar, dalam proses penyiapan warga Negara tersebut. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
Sebagai bagian integral dari pendidikan nasional, maka tujuan pendidikan politik harus sejalan dan merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencedaskan kehidupan bangsa, betujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokatis serta bertanggung jawab.
Senada dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tersebut di atas, menurut Wahab (1996:9), “... pendidikan politik bertujuan membentuk warganegara yang baik, yaitu warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan dengan baik hak-hak dan kewajibannya sebagai individu warganegara”. Pendapat tersebut diperkuat oleh Kantaprawira (2002:55) yang menyatakan, bahwa: “Pendidikan politik, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya”. Dengan demikian, terwujudnya warganegara yang baik (good citizen) yaitu warganegara yang melek politik, memiliki kesadaran politik, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik merupakan tujuan utama dari pendidikan politik.
Tujuan pendidikan politik bagi generasi muda menurut Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik Generasi Muda ialah sebagai berikut:
Tujuan pendidikan politik ini ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha membangun manusia Indonesia seutuhnya yang perwujudannya akan terlihat dalam perilaku hidup bermasyarakat sebagai berikut:
a. Sadar akan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya sebagai warganegara terhadap kepentingan bangsa dan negara.
b. Sadar dan taat terhadap hukum dan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Memiliki disiplin pribadi, sosial dan nasional.
d. Memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan yang disesuaikan dengan kemampuan objektif bangsa saat ini.
e. Mendukung kehidupan nasional yang demokratis sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
f. Berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam pembangunan nasional.
g. Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan keanekaragaman bangsa.
h. Sadar akan perlu pemeliharaan lingkungan hidup dan alam sekitar secara selaras, serasi, dan seimbang.
i. Mampu melakukan penilaian terhadap gagasan, nilai serta ancaman yang bersumber dari idiologi lain di luar Pancasila dan UUD 1945, atas dasar pola pikir atau penalaran logis mengenai Pancasila dan UUD 1945 (Kansil, 1986:197-198).
Berdasarkan gambaran tersebut, pendidikan politik sebagai bagian integral dari seluruh proses pembangunan bangsa dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia bertujuan membangun generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa pendidikan politik bertujuan membentuk warganegara yang baik, yaitu warganegara yang melek politik, memiliki kesadaran politik, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik secara bertanggung jawab.





Daftar Pustaka
Affandi, Idrus. (1996). Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan Politik. Disertasi PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Alfian. (1981). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

-------. (1986). Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

-------. (1993). Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Almond, Gabriel A. dan Verba, S. (eds) (1963) The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, Princeton,NJ: Princenton University Press.

Apter, David A. (1996) Pengantar Analisa Politik, Diterjemahkan Oleh Setiawan Abadi, Jakarta: LP3ES.

Bambang Cipto. 1996. Prospek dan Tantangan Partai Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiardjo, Miriam (2000) Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia.

Brownhill, Robert and Patricia Smart. (1989). Political Education. London: Routledge.

Daniel Dhakidae. 1999 “Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi dan Program. Edisi Pemilihan Umum”. Jakarta: Litbang Kompas.

Dhal, Rober, A. (1994) Analisis Politik Modern, Alih Bahasa: Mustafa Kamil Ridwan, Jakarta: PT Bumi Aksara.

Gaffar, Affan. (2000). Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haricahyono, Chepy, (1991) Ilmu Politik dan Perspektifnya, Yogyakarta: Tiarawacana.

Hobbes, Thomas (1934 [1651]) Leviathan, Oxford: The Clarendon Press.

Huntington, Samuel, P (1991) The Third Wafe: Democratization in the Late Twentieth Century, London: Hutchinson & Co, Ltd.

H.A.R. Tilaar,2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta.

Iswara, F. (1974) Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Dwiwantara.

Inu Kencana. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung: refika Aditama.

Kattsoff, Louis, O. (1996) Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana

Kleden, Ignas (2001) Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kantaprawira, Rusadi. (1997). Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Lijphart, Arend (2000) “Partai Politik” dalam Adam Kupper dan Jessica Kupper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Edisi Kedua, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlmn 731-733.

Lipset, S. dan Rokkan, S. (eds) (1967) Party System and Voter Alignments, New York: Oxford University Press.

Mahrus Irsyam, Dkk. 1985. Sejarah Kepartaian di Indonesia. Jakarta : Dikbud

Mochtar Mas’oed. 2006. Perbandingan Sistem Politik. Yogya: Gadjah Mada Press

M. Sirozi, Ph.D., 2005. Politik Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Pranarka A.M.W, (1985). “Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila”. Jakarta : CSIS.

Surbakti, Ramlan, (1996) “Perkembangan Mutakhir Ilmu Politik”, dalam Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti (ed), Teori-teori Politik Dewasa Ini, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Penyusunan Perundang-undangan.

UU No. 31 tahun 2003 tentang Partai Politik.

Instruksi Presiden No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik Generasi Muda

1 komentar: