Jumat, 22 Januari 2010

Pendidikan Nasional Indonesia ; Tinjauan Aliran Rekonstruksi

Pendidikan secara sederhana dapat dikatakan sebagai alat untuk mengenalkan realita kehidupan. Pendidikan juga memiliki tujuan untuk membentuk manusia sesuai dengan potensi yang dimilikinya secara utuh. Dalam hal tersebut secara jelas bahwa pendidikan yang diberikan harus didasarkan atas landasan pelaksanaan pendidikan, kebutuhan peserta didik serta tujuan yang hendak dicapai lewat proses pendidikan tersebut.
Manusia tidak serta merta dilahirkan dengan kepribadian yang modern. Kepribadian dibentuk dalam proses pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar dan terus-menerus oleh manusia dalam menyelaraskan kepribadiannya dengan keyakinan dan nilai-nilai yang beredar dan berlaku dalam masyarakat berikut kebudayaannnya (Siti Murtiningsih, 2004 :1).
Undang-undang kita telah merumuskan apa yang menjadi tujuan dari terselenggaranya proses pendidikan. Sebagaimana bunyi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan adalah : Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinyauntuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Aliran rekonstruksi memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme namun terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif. Persamaan antara dua aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat relatif dan semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya dan mengubahnya. Aliran rekonstruksi menginginkan transformasi kultur yang ada berdasarkan analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan mendasar dalam praktik-praktik pendidikan selama ini. Mereka kritis terhadap masyarakat kontemporer dan dianggap sebagai penggiat sosial yang peduli terhadap isu-isu nasional dan internasional (Chaedar AlWasilah, 2008 : 107) .
Bila tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik sebagai pengubah dunia, maka sekolah harus membekali siswa dengan alat untuk melakukan perubahan, yakni demi transformasi dunia ini lewat rekonstruksi sosial. Guru dengan demikian memiliki peran penting dalam mengubah kebudayaan. Tokoh-tokoh besar aliran ini antara lain George Counts, Theodore Brameld, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Dalam bukunya Education for the Emerging Age (1950) Brameld menyarankan bahwa tujuan pendidikan bukan untuk memperoleh kredit atau sekedar pengetahuan, tetapi memberi manusia apapun rasanya, kepercayaannya, dan kehidupan yang lebih memuaskan dirinya dan masyarakatnya. Pengetahuan, pelatihan dan keterampilan adalah alat untuk mencapai tujuan ini, yakni realisasi diri.
Illich dalam bukunya Deschooling Society (1970) mempertanyakan apakah dunia ini rela membiarkan mayoritas penduduk tidak sekolah, membiarkan drop out anak-anak dari golongan kelas bawah. Konstribusi aliran ini bukan untuk menghapus sekolah, tetapi untuk melonggarkan pelembagaan (deinstituionalize) pengalaman pendidikan di sekolah, agar siswa mampu mentransformasi kultur yang ada. Illich melihat keterkaitan bahasa dengan kekuasaan. Dengan menguasai bahasa sampai tingkat literasi tinggi seseorang dapat menggapai kekuasaan dan mampu mentransformasi kebudayaan. Dalam Pedagogy of the Oppressed (1995), Illich menekankan pentingnya kemampuan manusia untuk mengidentifikasi dan mempertanyakan asumsi-asumsi ihwal hakikat dunia lewat dialog dan diskusi.
Aliran rekonstruksi mengedepankan pemikiran bahwasanya di sekolah, individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini, tetapi juga harus mempelopori masyarakat ke arah bau yang diinginkan. Oleh karenanya sekolah perlu mengembangkan suatu ideologi kemasyarakatan yang demokratis. Guru harus mengetahui sejumlah pengetahuan yang esensial demi pertumbuhan muridnya dan berperan sebagai pemimpin bagi murid dalam proses pendidikan (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000 : 91).
Aliran progresivisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut diantaranya ialah terpusat pada siswa (student sentris). Dalam aliran ini sekolah diumpamakan sebagai laboratorium bagi siswa dalam menyongsong kehidupan yang demokratis dan mengenal kehidupan nyata dirinya. Untuk mencapai tujuan ini, sekolah diharapkan mampu membekali siswa dengan pengetahuan dan pengalaman dalam menghadapi perubahan dunia. Dalam konteks lain, Uyoh Sadulloh (2007 : 147) mengatakan bahwa sekolah harus menekankan “bagaimana berpikir” bukan “apa yang dipikirkan”. Lebih lanjut Uyoh Sadulloh juga menambahkan bahwa siswa harus diberikan alat keterampilan berupa kemampuan untuk memecahkan masalah serta perilaku cooperative dan disiplin diri.
Aliran rekontruksi dan pedagogi kritis juga menekankan bahwa siswa ialah bukan sebagai objek pembelajaran, tetapi sebagai subjek pebelajaran. Siswa juga harus dikenalkan dengan realita kehidupannya. Dalam bahasa lain, Freire (Siti Murtiningsih, 2004 : 11) mengatakan bahwa pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia sehingga mengantar orang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian secara kritis menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif. Model pembelajaran yang diutarakan oleh Freire bukanlah model “bank” tetapi model “hadap masalah” yang memposisikan guru dan siswa sebagai subjek-subjek yang mengetahui tugas dan tanggungjawabnya, serta terpaut (linking) dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik siswa (Saiful Arif, 2003 : 162).
Dalam konteks ke-Indonesia-an nampaknya aliran ini harus diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal ini mengingat bahwasanya sistem pendidikan nasional mengamanatkan terciptanya peserta didik yang utuh (fisik dan rohani) serta sesuai dengan nilai-nilai bangsa dan negara Indonesia. Disamping itu penggunaan aliran ini berguna untuk membentuk siswa yang kritis sehingga mampu turut serta dalam merumuskan solusi yang tengah dihadapi oleh bangsa dan negaranya.
Maka, contetnt materi yang diberikan-pun harus lah merujuk kepada proses penyadaran. Terlebih daripada itu, sebuah proses pendidikan harus-lah dapat menumbuhkan rasa cinta akan negara-nya dan pengembangan kemampuan dirinya. Berdasarkan hal-hal di atas, maka dinilai sangat penting akan adanya suatu proses pembentukan pendidikan nilai-moral yang kemudian akan membentuk seorang warga negara yang mengerti dan paham akan kehidupan bernegara-nya.

Rujukan Bacaan ;
• Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung : UPI dan Rosdakarya.
• Arif, Saiful (Ed). 2003. Pemikiran-pemikiran Revolusioner ; Karl Marx, Antonio Gramsci, Anthony Giddens, Paulo Freire, Asghar Ali Engineer, Erich Fromm. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
• Murtiningsih, Siti. 2004. Pendidikan Alat Perlawanan ; Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta : Resist Book.
• Sadulloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
• Tirtarahardja, Umar dan La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Depdikbud dan Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar