Jumat, 22 Januari 2010

Aliran–aliran Pendidikan dalam Filsafat Pendidikan

Abstrak
Pendidikan yang diberikan harus didasarkan atas landasan pelaksanaan pendidikan, kebutuhan peserta didik serta tujuan yang hendak dicapai lewat proses pendidikan tersebut. Ketiga hal tersebut dalam kaca mata filsafat pendidikan dipengaruhi oleh berbagai aliran atau mazhab pendidikan yang telah dikenalkan dan dikembangkan oleh para ahli.
Kajian tentang berbagai aliran pendidikan tersebut berguna sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan para tenaga kependidikan. Hal ini sangat penting agar para tenaga kependidikan dapat memahami dan memberikan konstribusi terhadap dinamika pendidikan dalam sebuah kondisi masyarakat.
Filsafat pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat dan isi yang ideal dari pendidikan. Pada intinya filsafat pendidikan mempertanyakan sejumlah pertanyaan penting sebagai berikut : pengetahuan apa yang paling berharga, pengetahuan apa yang mesti diajarkan, apa yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan, bagaimana manusia belajar, bagaimana sebaiknya hubungan antara guru dan siswa. Untuk menjawab kelima pertanyaan di atas terdapat sejumlah mazhab atau aliran filsafat yang lazim dirujuk dalam pendidikan, yaitu : esensialisme, perrenialisme, progresivisme, eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis.

Pendidikan dapat dikatakan sebagai sebuah usaha yang dilakukan secara sadar untuk mengenalkan manusia terhadap realita kehidupannya. Dalam hal tersebut secara jelas bahwa pendidikan yang diberikan harus didasarkan atas landasan pelaksanaan pendidikan, kebutuhan peserta didik serta tujuan yang hendak dicapai lewat proses pendidikan tersebut. Ketiga hal tersebut dalam kaca mata filsafat pendidikan dipengaruhi oleh berbagai aliran atau mazhab pendidikan yang telah dikenalkan dan dikembangkan oleh para ahli.
Walaupun kenyataannya berbagai pemikiran yang kemudian menjadi “mazhab” dalam penyelenggaraan pendidikan dicetuskan beberapa puluh tahun yang lalu, bahkan beberapa ratus tahun yang lalu, namun nampak nyata bahwasanya pemikiran tersebut sangat mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan pada masa kini. Pemikiran para ahli tersebut lazimnya dikatakan sebagai aliran pendidikan atau ada pula yang menamakan sebagai mazhab filsafat pendidikan. Contoh daripada aliran-aliran tersebut ialah esensialisme, perrenialisme, progresivisme, eksistensialisme dan rekonstruksi. Kesemua aliran tersebut memiliki ciri yang khas baik dari segi tujuan maupun metoda pengajaran dalam pendidikan yang telah dicetuskan oleh para ahli.
Kajian tentang berbagai aliran pendidikan tersebut berguna sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan para tenaga kependidikan. Hal ini sangat penting agar para tenaga kependidikan dapat memahami dan memberikan konstribusi terhadap dinamika pendidikan dalam sebuah kondisi masyarakat. Disamping itu para tenaga kependidikan juga diharapkan dapat memiliki bekal dalam mewujudkan tujuan pendidikan.
Filsafat pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat dan isi yang ideal dari pendidikan. Pada intinya filsafat pendidikan mempertanyakan sejumlah pertanyaan penting sebagai berikut : pengetahuan apa yang paling berharga, pengetahuan apa yang mesti diajarkan, apa yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan, bagaimana manusia belajar, bagaimana sebaiknya hubungan antara guru dan siswa. Untuk menjawab kelima pertanyaan di atas ada sejumlah mazhab atau aliran filsafat yang lazim dirujuk dalam pendidikan, yaitu : esensialisme, perrenialisme, progresivisme, eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis.
Pembuatan rangkuman ini bersumber dari bab mengenai filsafat pendidikan dari buku karya A. Chaedar Alwasilah, berjudul Filsafat Bahasa dan Pendidikan terbitan UPI dan Rosda Karya, yang bertujuan untuk mengetahui berbagai macam aliran pendidikan yang ada dalam dunia pendidikan.

Esensialisme
Mungkin deskripsi yang paling mengena bagi mazhab ini adalah “tradisional”, kembali ke khittah, atau back to basics. Mazhab ini diberi label demikian karena upayanya dalam menanamkan pada para siswa apa yang menjadi esensi dari ilmu pengetahuan dan pembangunan karakter siswa. Paham ini populer pada tahun 1930an dengan pelopornya William Bagley (1874-1946).
Filsafat ini berdasarkan filsafat konservatif bahwasanya sekolah itu tidak dapat mengubah masyarakat secara radikal. Sekolah seharusnya mengajarkan nilai-nilai moral tradisional dan pengetahuan agar siswa kelak menjadi warganegara teladan. Ajaran yang mesti diberikan kepada siswa antara lain hormat kepada kekuasaan, ketabahan, taat menjalankan kewajiban, tenggang rasa kepada orang lain, dan menguasai hal-hal praktis. Pendidikan hendaknya menekankan pemahaman dunia lewat percobaan saintifik dan penguasaan ilmu-ilmu alamiah daripada ilmu-ilmu seperti filsafat atau agama.
Mata pelajaran tradisional yang lazim dianggap penting antara lain matematika, IPA, sejarah, bahasa asing, dan kesusasteraan. Mata-mata pelajaran yang bersifat vokasional atau kurang akademik kurang berkenan bagi kelompok ini. Siswa SD harus menguasai menulis, membaca, berhitung dan komputer agar memiliki literasi literasi kultural yang memadai, yakni memiliki pengetahuan ihwal orang, kejadian, gagasan dan institusi publik. Kurikulum sekolah menengah seyogyianya terdiri atas sains, matematika, sejarah, bahasa inggris, dan bahasa asing. Semuanya ini merupakan alat pendidikan liberal dan terpercaya untuk memenuhi kebutuhan personal dan sosial.
Perrenialisme
Perennial berarti everlasting, tahan lama atau abadi. Aliran ini mengikuti paham realisme, yang sejalan dengan pemikrian Aristoteles bahwa manusia itu rasional. Sekolah adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan kecerdasan. Siswa seyogyianya diajari gagasan besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi intelektual sejati. Akar filsafat ini datang dari gagasan besar Plato, Aristoteles dan kemudian dari St. Thomas Aquinas yang sangat berpengaruh pada model-model sekolah Katolik.
Kaum perrenialis mendasarkan teorinya pada pandangan universal bahwa semua manusia memiliki sifat esensial sebagai mahluk rasional, jadi tidaklah baik menggiring dan mencocok hidung mereka ke penguasaan keterampilan vokasional. Berbeda dari esensialis, eksperimen saintifik dianggap mengurangi pentingnya kapasitas manusia untuk berpikir. Pelajaran filsafat dengan demikian menjadi penting, agar siswa mampu berpikir mendalam, analitik, fleksibel, dan penuh imajinatif.
Pendidikan menurut filsafat ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang umum bukan spesialis, liberal bukan vokasional, yang humanistik bukan teknikal. Dengan cara inilah pendidikan akan memenuhi fungsinya humanistiknya yang mesti dimiliki manusia. Ada empat prinsip dari aliran ini : (1) kebenaran bersifat universal dan tidak tergantung pada tempat, waktu, dan orang; (2) pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman atas kebenaran; (3) kebenaran dapat ditemukan dalam karya-karya agung; dan (4) pendidikan adalah kegiatan liberal untuk mengembangkan nalar.
Progresivisme
Aliran ini lengket dengan nama besar John Dewey (1859-1952) yang mngembangkan Sekolah Laboratorium di Chicago. Aliran ini menghormati perseorangan, sains, dan menerima perubahan sesuai dengan perkembangan. Aliran ini menstimulasi sekolah untuk mengembangkan kurikulum sehingga lebih relevan dengan kebutuhan dan minat siswa. Filsafat yang dianut Dewey adalah bahwa dunia fisik itu real dan perubahan itu bukan sesuatu yang tak dapat direncanakan. Perubahan dapat diarahkan oleh kepandaian manusia. Sekolah mesti membuat siswa sebagai warganegara yang lebih demokratik, berpikir bebas dan cerdas. Bagi Dewey ilmu pengetahuan itu dapat diperoleh dan dikembangkan dengan mengaplikasikan pengalaman, lalu dipakai untuk menyelesaikan persoalan baru. Pendidikan dengan demikian adalah rekonstruksi pengalaman.
Untuk memecahkan problem, Dewey mengajarkan metode ilmiah dengan langkah-langkah sebagai berikut : sadari problem yang ada, definiskan problem itu, ajukan sejumlah hipotesis untuk memecahkannya, uji telik konsekuensi setiap hipotesis dengan melihat pengalaman silam, alami dan tes solusi yang paling memungkinkan.
Proses belajar mengajar di kelas ditandai dengan beberapa hal antara lain :
• Guru merencanakan pelajaran yang membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa.
• Selain membaca buku siswa juga diharuskan berinteraksi dengan alam misalnya melalui kerja lapangan atau lintas alam.
• Guru membangkitkan minat siswa melalui permainan yang menantang siswa untuk berpikir.
• Siswa didorong untuk berinteraksi dengan sesamanya untuk membangun pemahaman sosial.
• Kurikulum menekankan studi alami dan siswa dipajankan (exposed) terhadap perkembangan baru dalam saintifik dan sosial.
• Pendidikan sebagai proses yang terus menerus memperkaya siswa untuk tumbuh, bukan sekedar menyiapkan siswa untuk kehidupan dewasa.
Para pendidik aliran ini sangat menentang praktik sekolah tradisional, khusunya dalam lima hal : (1) guru yang otoriter, (2) terlampau mengandalkan metode berbasis buku teks, (3) pembelajaran pasif dengan mengingat fakta (4) filsafat empat tembok, yakni terisolasinya pendidikan dari kehidupan nyata, dan (5) penggunaan rasa takut atau hukuman badan sebagai alat untuk menanamkan disiplin pada siswa.
Eksistensialisme
Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri. Manusia adalah pencipta esensi dirinya.
Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan kematian.
Rekonstruksi
Aliran rekonstruksi memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme namun terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif. Persamaan antara dua aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat relatif dan semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya dan mengubahnya. Aliran rekonstruksi menginginkan transformasi kultur yang ada berdasarkan analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan mendasar dalam praktik-praktik pendidikan selama ini. Mereka kritis terhadap masyarakat kontemporer dan dianggap sebagai penggiat sosial yang peduli terhadap isu-isu nasional dan internasional.
Bila tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik sebagai pengubah dunia, maka sekolah harus membekali siswa dengan alat untuk melakukan perubahan, yakni demi transformasi dunia ini lewat rekonstruksi sosial. Guru dengan demikian memiliki peran penting dalam mengubah kebudayaan. Tokoh-tokoh besar aliran ini antara lain George Counts, Theodore Brameld, Ivan Illich, dan Paulo Freire.
Dalam bukunya Education for the Emerging Age (1950) Brameld menyarankan bahwa tujuan pendidikan bukan untuk memperoleh kredit atau sekedar pengetahuan, tetapi memberi manusia apapun rasanya, kepercayaannya, dan kehidupan yang lebih memuaskan dirinya dan masyarakatnya. Pengetahuan, pelatihan dan keterampilan adalah alat untuk mencapai tujuan ini, yakni realisasi diri.
Illich dalam bukunya Deschooling Society (1970) mempertanyakan apakah dunia ini rela membiarkan mayoritas penduduk tidak sekolah, membiarkan drop out anak-anak dari golongan kelas bawah. Konstribusi aliran ini bukan untuk menghapus sekolah, tetapi untuk melonggarkan pelembagaan (deinstituionalize) pengalaman pendidikan di sekolah, agar siswa mampu mentransformasi kultur yang ada. Illich melihat keterkaitan bahasa dengan kekuasaan. Dengan menguasai bahasa sampai tingkat literasi tinggi seseorang dapat menggapai kekuasaan dan mampu mentransformasi kebudayaan. Dalam Pedagogy of the Oppressed (1995), Illich menekankan pentingnya kemampuan manusia untuk mengidentifikasi dan mempertanyakan asumsi-asumsi ihwal hakikat dunia lewat dialog dan diskusi.
Pedagogi Kritis
Teori ini bernafsu untuk mengidentifikasi minat dan motivasi politik sosial dari sebuah dominasi kekuasaan (ilmu pengetahuan dan kebudayaan secara umum). Maksudnya adalah demi emansipasi dan pencerahan. Bila diaplikasikan dalam bidang pendidikan maka teori kritis ini memunculkan pendekatan critical pedagogy dan salah satu pelopornya adalah Henry Giroux.
Pendekatan ini antara lain menekankan pentingnya memberdayakan dan mendidik siswa agar mampu memecahkan masalah dan mampu berpikir kritis. Pendidik sering disebut critical educator yang secara kritis mempertanyakan kultur yang sudah mapan atau dominan dan menjadikannya sebagai objek analisis politik. Pedagogi kritis mempunyai gambaran sebagai berikut : memiliki kepedulian tinggi terhadap ketidakadilan sosial sebagaimana tercermin dalam sistem pendidikan atau persekolahan, di balik ilmu pengetahuan yang dpelajari di sekolah dan kebudayaan yang dominan dalam sistem persekolahan sesungguhnya ada minat dan vested interest dari kelompok tertentu, di balik sistem persekolahan itu ada ideologi yang mendominasi yang harus dicermati dengan kritis dengan mengkaji sejumlah ideologi alternatif.
Dalam teori ini maka pendidik harus mempunyai keahlian sebagai berikut :
• Untuk menganalisis sistem yang ada secara politis, diperlukan penguasaan bahasa kritis demi pemahaman yang sempurna.
• Untuk memahami kultur yang mendominasi sistem persekolahan, diperlukan pemahaman atas suara ideologis dari tiga kelompok besar, yaitu pihak sekolah, siswa dan guru.
• Untuk menantang wilayah pengetahuan yang dominan saat ini, diperlukan keberanian untuk membangun pengetahuan baru. Untuk itu guru harus menyiapkan kelas yang mefasilitasi siswa untuk mampu berbicara, menulis dan mendengar dalam multiperspectival language, yaitu berbahasa dengan sudut pandang yang berbagai-bagai.
Siswa disarankan untuk memahami hakikat kekuasaan, penindasan, mengenali adanya ketidakadilan dalam masyarakat, dan dilatih kritis untuk mampu mengembangkan pemahaman dan kepekaan untuk melakukan perubahan. Berikut delapan dalil dari critical pedagogy :
• Pendidikan memproduksi bukan hanya pengetahuan tapi juga politik. Mata pelajaran tidak hanya mewariskan ilmu pengetahuan, fakta atau dalil, tetapi juga harus menanamkan pada siswa kesadaran akan hak-hak politiknya sebagai warga negara.
• Etika seyogyianya dipahami sebagai sentralnya pendidikan. Guru mengajarkan bukan hanya pengetahuan dan keterampilan tetapi juga mengajarkan apa yang benar dan tidak benar.
• Pendidikan bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan pada siswa dan guru dalam aspek-aspek ras, etnis, bahasa dan gender.
• Kurikulum tidak boleh dimaknai sebagai teks suci yang mengharamkan munculnya interpretasi dan perbedaan-perbedaan pada pihak pelaksanaannya.
• Pendidikan seyogyianya bukan hanya mengkritisi bentuk-bentuk ilmu pengetahuan yang ada tetapi juga menghasilkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan baru.
• Pendidikan seyogyianya mereformulasi apa yang selama ini diklaim sebagai kebenaran demi mendapatkan versi dan interpretasi yang lebih parsial dan khusus dari ilmu pengetahuan, teknologi, kebenaran dan alasan serta kebernalaran.
• Pendidikan menawarkan visi demi masa mendatang yang lebih baik dan pantas diperjuangkan tanpa mengenal lelah.
• Para guru seyogyianya menjadi transformative intellectual, yakni intelektual yang memiliki komitmen perkasa untuk melakukan transformasi sosial demi perbaikan.

Membincangkan tentang aliran/mazhab pendidikan memang menarik untuk kita kaji. Karena sebagai akademisi dan praktisi pendidikan, kajian terhadap aliran pendidikan dapat menjadikan sebagai pisau analisa dalam membedah hal-hal yang menyangkut tentang pelaksanaan pendidikan. Pemaparan yang dikemukakan dalam buku karya A. Chaedar Alwasilah ini sangat membantu kita dalam mengetahui seluk beluk filsafat pendidikan. Hal lain yang tidak ditemukan dalam pembahasan buku tersebut coba untuk penulis paparkan dalam bagian ini.
Dalam pandangan aliran essensialisme, tujuan pendidikan ialah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua orang. Tugas siswa adalah menginternalisasikan atau menjadikan milik pribadi elemen-elemen tersebut (Uyoh Sadulloh, 2007 : 161).
Kedudukan sekolah ini sebagai penanggungjawab dari kegiatan belajar-mengajar. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Power (Uyoh Sadulloh, 2007 : 165) bahwa sekolah bertanggungjawab atas pemberian pengajaran yang logis atau dapat dipercaya. Sedangkan guru secara moral harus merupakan orang yang dapat dipercaya dan secara teknis harus memiliki kemahiran dalam mengarahkan proses belajar dan metode pembelajaran ditekankan pada guru.
Parrenialisme yang mengedepankan pemeliharaan nilai-nilai warisan budaya juga menjadi kajian menarik tersendiri dalam konteks filsafat pendidikan. Dalam konteks Indonesia, aliran perrenialisme nampak dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal tersebut diutarakan oleh Umar Tirtarahardja dan La Sula (2000 : 89-90) yang mengatakan bahwa aliran ini dianut karena mengintegrasikan kebenaran agama dan kebenaran ilmu. Maka sebaiknya kurikulum bersifat wajib dan berlaku umum yang meliputi bahasa, matematika, logika, IPA dan sejarah.
Aliran eksistensialisme mengedepankan pandangan bahwa manusia ialah mahluk yang memiliki kewenangan untuk menentukan arah dirinya kelak. Tujuan aliran eksistensialisme oleh Uyoh Sadulloh (2007 : 137) diantaranya ialah mendorong individu untuk mengembangkan semua potensi dirinya. Hal tersebut nampak berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang menyiratkan bahwa pendidikan berfungsi sebagai pengembangan potensi peserta didik.
Progresivisme merupakan aliran yang mengedepankan peran siswa yang aktif dalam pembelajaran. Karena pada hakekatnya siswa merupakan subjek yang utama dalam proses pembelajaran. Dalam Umar Tirtarahardja dan La Sula (2000 : 90) diberikan penekanan terhadap aliran progresivisme. Yakni bahwa dalam aliran ini pengalaman langsung merupakan cara terbaik untuk merangsang minat belajar. Disamping itu guru harus menjadi seorang peneliti dan pembimbing kegiatan belajar, sedangkan anak (siswa) harus bebas untuk dapat berkembang secara wajar.
Aliran rekonstruksi mengedepankan pemikiran bahwasanya di sekolah, individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini, tetapi juga harus mempelopori masyarakat ke arah bau yang diinginkan. Oleh karenanya sekolah perlu mengembangkan suatu ideologi kemasyarakatan yang demokratis. Guru harus mengetahui sejumlah pengetahuan yang esensial demi pertumbuhan muridnya dan berperan sebagai pemimpin bagi murid dalam proses pendidikan (Umar Tirtarahardja dan La Sula, 2000 : 91).
Aliran progresivisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut diantaranya ialah terpusat pada siswa (student sentris). Dalam aliran ini sekolah diumpamakan sebagai laboratorium bagi siswa dalam menyongsong kehidupan yang demokratis dan mengenal kehidupan nyata dirinya. Untuk mencapai tujuan ini, sekolah diharapkan mampu membekali siswa dengan pengetahuan dan pengalaman dalam menghadapi perubahan dunia. Dalam konteks lain, Uyoh Sadulloh (2007 : 147) mengatakan bahwa sekolah harus menekankan “bagaimana berpikir” bukan “apa yang dipikirkan”. Lebih lanjut Uyoh Sadulloh juga menambahkan bahwa siswa harus diberikan alat keterampilan berupa kemampuan untuk memecahkan masalah serta perilaku cooperative dan disiplin diri.
Aliran rekontruksi dan pedagogi kritis juga menekankan bahwa siswa ialah bukan sebagai objek pembelajaran, tetapi sebagai subjek pebelajaran. Siswa juga harus dikenalkan dengan realita kehidupannya. Dalam bahasa lain, Freire (Siti Murtiningsih, 2004 : 11) mengatakan bahwa pendidikan harus menjadi arena pembebasan manusia sehingga mengantar rang menemukan dirinya sendiri, untuk kemudian secara kritis menghadapi realitas sekitarnya dengan kritis dan mengubah dunia secara kreatif. Model pembelajaran yang diutarakan oleh Freire bukanlah model “bank” tetapi model “hadap masalah” yang memposisikan guru dan siswa sebagai subjek-subjek yang mengetahui tugas dan tanggungjawabnya, serta terpaut (linking) dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik siswa (Saiful Arif, 2003 : 162). Dalam konteks ke-Indonesia-an nampaknya aliran ini harus diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal ini mengingat bahwasanya sistem pendidikan nasional mengamanatkan terciptanya peserta didik yang utuh (fisik dan rohani) serta sesuai dengan nilai-nilai bangsa dan negara Indonesia. Disamping itu penggunaan aliran ini berguna untuk membentuk siswa yang kritis sehingga mampu turut serta dalam merumuskan solusi yang tengah dihadapi oleh bangsa dan negaranya.

daftar pustaka :
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung : UPI dan Rosdakarya.
Arif, Saiful (Ed). 2003. Pemikiran-pemikiran Revolusioner ; Karl Marx, Antonio Gramsci, Anthony Giddens, Paulo Freire, Asghar Ali Engineer, Erich Fromm. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Murtiningsih, Siti. 2004. Pendidikan Alat Perlawanan ; Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta : Resist Book.
Sadulloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
Tirtarahardja, Umar dan La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Depdikbud dan Rineka Cipta.

2 komentar: